Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya. Maka salah satu cara melihat sesorang anak itu mengalami stunting atau tidak adalah dengan mengukur tinggi badannya, lalu membandingkannya dengan anak seusianya, meski juga harus dipahami terlebi dulu bahwa pendek bukan berarti stunting.
2. Pertumbuhan tubuh dan gigi yang terlambat
3. Memiliki kemampuan fokus dan memori belajar yang buruk
4. Pubertas yang lambat
5. Saat menginjak usia 8-10 tahun, anak cenderung lebih pendiam dan tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang sekitarnya
6. Berat badan lebih ringan untuk anak seusianya
Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia tidak hanya sekarang, tetapi utamanya adalah di masa depan. Bukan hanya mengganggu pertumbuhan fisik sehingga umumnya anak-anak stunting secara fisik lebih pendek (masyarakat menyebutnya cebol), anak-anak juga mengalami gangguan perkembangan otak yang akan memengaruhi kemampuan dan prestasi mereka, sehingga secara akademis rerata mereka rendah ketimbang anak-anak yang tidak stunting. Selain itu, anak yang menderita stunting akan memiliki riwayat kesehatan buruk karena daya tahan tubuh yang juga buruk; di usia-usia tuanya (40 tahun ke atas) mereka akan mengalami obesitas dan mudah terkena penyakit degeneratif. Celakanya pula, stunting juga bisa menurun ke generasi berikutnya bila tidak ditangani dengan serius.
Mengingat stunting adalah salah satu masalah kesehatan yang cukup membahayakan, memahami faktor penyebab stunting sangat penting untuk dilakukan. Hanya dengan cara itu, kita bisa melakukan langkah-langkah preventif untuk menghindari, mengatasi, atau menanganinya dengan baik. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting, antara lain:
Tanpa kita sadari, penyebab stunting pada dasarnya sudah bisa terjadi sejak anak berada di dalam kandungan. Jadi ini sejak terjadinya kehamilan. Harus diketahui, bahwa sejak di dalam kandungan, anak bisa jadi mengalami masalah kurang gizi. Penyebabnya adalah karena sang ibu tidak memiliki akses terhadap makanan sehat dan bergizi, sehingga menyebabkan buah hatinya turut kekurangan nutrisi. Selain itu, rendahnya asupan vitamin dan mineral yang dikonsumsi ibu juga bisa ikut memengaruhi kondisi malnutrisi janin. Kekurangan gizi sejak dalam kandungan inilah yang juga bisa menjadi penyebab terbesar kondisi stunting pada anak.
Pola asuh yang kurang efektif juga menjadi salah satu penyebab stunting pada anak. Pola asuh di sini berkaitan dengan perilaku dan praktik pemberian makanan kepada anak. Bila orang tua tidak memberikan asupan gizi yang baik, maka anak bisa mengalami stunting. Selain itu, faktor ibu yang masa remaja dan kehamilannya kurang nutrisi serta masa laktasi yang kurang baik juga dapat memengaruhi pertumbuhan dan otak anak.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah edukasi kepada remaja untuk mengasup nutrisi dan gizi yang cukup di masa remajanya (sebelum/pranikah). Sebab, asupan gizi dan nutrizi semasa remaja jelas sangat menentukan kualitas kehamilan, persalinan, dan pengasuhannya di kemudian hari, yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan tidak hanya ibu, tetapi juga janin yang ada di dalam kandungannya.
3. Pola Makan
Rendahnya akses terhadap makanan dengan nilai gizi tinggi serta menu makanan yang tidak seimbang dapat memengaruhi pertumbuhan anak dan meningkatkan risiko stunting. Hal ini dikarenakan ibu kurang mengerti tentang konsep gizi sebelum, saat, dan setelah melahirkan.
4. Tidak Melakukan Perawatan Pasca Melahirkan
Setelah bayi lahir, sebaiknya ibu dan bayi menerima perawatan pasca melahirkan. Sangat dianjurkan juga bagi bayi untuk langsung menerima asupan ASI agar dapat memperkuat sistem imunitasnya. Perawatan pasca melahirkan dianggap perlu untuk mendeteksi gangguan yang mungkin dialami ibu dan anak pasca persalinan.
Hal yang umum diabaikan oleh para ibu adalah pentingnya memberi ASI (air susu ibu) secara ekseklusif di 6 bulan pertama setelah persalinan. Di 6 bulan pertama, wajib bagi ibu untuk hanya memberikan ASI saja tanpa asupan pendamping apa pun (baik makanan ataupun minuman). ASI ini, sekali lagi, berfungsi untuk menguatkan kekebalan tubuh si bayi dari penyakit.
Kandungan ASI terdiri dari perpaduan sempurna lemak, protein, karbohidrat, vitamin, zat antibodi, enzim, dan mineral yang lebih mudah dicerna dan diserap dibandingkan susu formula atau susu sapi. Oleh karena itu, ASI dipercaya menjadi sumber nutrisi utama bagi bayi.
Saat kehamilan, seorang ibu tidak boleh mengalami tekanan mental karena akan berpengaruh pada kondisi kesehatan anak yang dikandung. Jika seorang ibu mengalami gangguan mental dan hipertensi dalam masa kehamilan, risiko anak menderita stunting juga semakin tinggi.
Gangguan mental atau stres, yang mengganggu kejiwaan seorang ibu, sangat mungkin terjadi ketika sedang dalam kondisi hamil. Stres yang dialami ibu jelas akan sangat berpengaruh bagi perkembangan janin di dalam kandungan.
Gangguan mental pada bumil, selain karena memang punya riwayat gangguan kesehatan mental, beberapa hal berikut ini juga dapat memicu kesehatan mental ibu hamil, yakni:
b. Pengalaman mengalami trauma baik fisik, emosi ataupun kekerasan seksual
e. Menjadi orang tua tunggal saat hamil
f. Memiliki tingkat sosio-ekonomi rendah
h. Pengobatan depresi yang tidak tuntas
i. Mengalami kesulitan finansial, serta
j. Memiliki pemikiran yang bertentangan akan kehamilannya.
Sakit infeksi yang berulang pada anak disebabkan oleh sistem imunitas tubuh yang tidak bekerja secara maksimal. Saat imunitas tubuh anak tidak berfungsi baik, maka risiko terkena berbagai jenis gangguan kesehatan, termasuk stunting, menjadi lebih tinggi. Karena stunting adalah penyakit yang rentan menyerang anak, ada baiknya orangtua (terutama ibu) harus selalu memastikan imunitas buah hati terjaga sehingga terhindar dari infeksi.
Cara terpenting untuk menunjang imunitas tubuh anak (baduta, balita) adalah dengan imunisasi, yang sekian lama ini sudah ditentukan jadwalnya secara rutin pada setiap anak/bayi dalam kurun satu tahun pertama.
Pemenuhan imunisasi wajib ini terbukti aman dan bermanfaat untuk melindungi anak dari penyakit sekaligus mencegah penularan penyakit ke anak lain. Jikalau sewaktu-waktu anak yang sudah imunisasi terinfeksi, ia biasanya menunjukkan gejala yang lebih ringan dibandingkan anak yang tidak diberikan imunisasi.
Imunisasi wajib bisa diperoleh secara cuma-cuma di puskesmas atau posyandu karena sudah dianggarkan oleh pemerintah.
Sanitasi yang buruk serta keterbatasan akses pada air bersih akan mempertinggi risiko stunting pada anak. Bila anak tumbuh di lingkungan dengan sanitasi dan kondisi air yang tidak layak, hal ini dapat memengaruhi pertumbuhannya.
Intervensi lain yang dilakukan juga mencakup penyediaan infrasturuktur air limbah berbasis masyarakat dan tempat pengelolaan sampah terpadu. Selain penyediaan sarana, pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, buang air besar di tempatnya, dan mengelola sampah dengan benar.
Program KB dan Percepatan Penurunan Stunting
Stunting terjadi bukan hanya karena kekurangan gizi pada anak, namun juga terbatasnya pemahaman tentang pengasuhan yang dilakukan saat anak berada dalam kandungan. Sayangnya, masih banyak kehamilan berisiko (terlalu muda, terlalu rapat, terlalu banyak, terlalu senja, disingkat "4 Terlalu") dilakukan oleh pasangan usia subur yang membahayakan baik bagi si ibu, maupun bagi si anak.
Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya setiap pasangan usia subur (PUS) untuk mengikuti program KB. Program KB sendiri bertujuan untuk mengatur kehamilan pasangan usia subur, diantaranya mencegah usÃa kehamilan yang terlalu dini serta jarak kehamilan yang terlalu dekat sehingga berperan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan memastikan ketercukupan gizi anak. Keluarga berencana melakukan intervensi spesifik seperti mempersiapkan calon ibu semenjak remaja, yakni dengan menghindari pernikahan terlalu dini, serta tak kalah pentingnya memastikan setiap ibu/istri agar mengakhiri kehamilan jika usianya sudah terlalu tua (> 35 tahun).
Upaya intervensi program KB dalam percepatan penurunan stunting diimplementasikan melalui kampanye atau sosialisasi penting menghindari "4 T" atau "4 Terlalu", yakni: pertama terlalu muda, yakni agar perempuan jangan menikah/hamil pada usia di bawah 20 tahun; kedua, terlalu dekat, yakni agar jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun; ketiga, terlalu banyak, yakni agar PUS jangan memiliki anak lebih dari 2; serta keempat, terlalu tua, yakni agar PUS menghindari kehamilan di atas 35 tahun.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam perkembangan terbaru, ada perubahan atas UU Perkawinan yaitu UU No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974, dengan titik tekan pada pasal 7 , dinyatakan bahwa perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria dan wanita mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Di UU sebelumnya usia perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Di Indonesia, sebagaimana kita tahu, masih banyak terjadi perkawinan anak yang masih berusia dibawah 19 tahun. Berdasarkan Data BPS tahun 2018, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat nomor 2 dari bawah setelah Riau, namun posisi ini bisa bergeser lebih baik atau lebih jelek ketika batas minimal umur perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak-hak anak dilindungi oleh berbagai peraturan, di antaranya non diskriminasi, hak hidup tumbuh dan berkembang, partisipasi/suara anak. Banyaknya perkawinan anak di Indonesia, khususnya DIY, dimana ada peningkatan jumlah perkawinan anak sejak tahun 2018 sebanyak 331 kasus dan meningkat menjadi 696 kasus perkawinan anak pada tahun 2020. Perkawinan anak ini perlu dicegah. Hal ini dikarenakan anak adalah investasi bangsa.
Penyebab perkawinan anak diantaranya faktor ekonomi dan kemiskinan, faktor nilai budaya, faktor perilaku remaja (kehamilan yang tidak dikehendaki / KTD), ketidaksetaraan gender. Menurut ibu Erlina, KTD hampir ada di semua kabupaten dan kota yang menjadi penyebab utam perkawinan anak, dan angkanya hampir mencapai 80% dari total pernikahan usia anak-anak di DIY. Disamping itu, kadang kala anak tidak memiliki kekuasaan untuk mengatakan tidak ketika orang tuanya meminta untuk segera menikah, itu juga menjadi penyebab perkawinan anak
Dampak secara global dari perkawinan anak diantaranya adanya komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak, bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun, anak perempuan yang menikah lebih rentan terhadap kekerasan rumah tangga. Akibat yang timbul dari perkawinan anak dari sisi pendidikan, menyebabkan anak menjadi putus sekolah. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat (44,9%).
Dari sisi kesehatan, pernikahan usia dini akan meningkatkan kejadian angka kematian ibu (AKI), 4-5 kali peluang terjadinya kehamilan risiko tinggi, kontraksi rahim tidak optimal, kanker serviks, kejadian 2-5 kali berpeluang pre eklampsia, risiko lahir prematur, peluang tertular penyakit menular seksual (PMS), meningkatnya angka kematian bayi (AKB), stunting, dan risiko berat badan bayi lahir rendah (BBLR).
Dari sisi ekonomi, sebagai dampak pernikahan dini akan semakin banyak pekerja anak dengan upah rendah, sehingga menyebabkan kemiskinan. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hampir 2x lebih banyak bekerja di pertanian dibanding yang menikah diatas usia 18 tahun.
Dari sisi sosial, pernikahan dini berpotensi meningkatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola asuh salah ke anak, kesehatan mental dan identitas anak.
Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta (2020), dispensasi pernikahan di DIY masih menunjukkan peningkatan dari 2018 sampai dengan 2020. Sebagian besar penyebab perkawinan anak di DIY masih didominasi dengan faktor perilaku remaja, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terpadu untuk mencegah perkawian anak ini. Salah satunya adalah dengan pendewasaan usia perkawinan (PUP) ini.
Pendewasaan usia perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama yaitu usia minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, dimana pada batasan usia ini dianggap sudah siap menghadapu kehidupan keluarga dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. PUP ini juga merupakan bagian dari Program KB Nasional yang diharapan dapat mendukung penurunan Total Fertility Rate (TFR). Tujuan Pendewasan Usia Perkawinan (PUP) diantaranya menunda perkawinan sampai batas usia minimal untuk siap berkeluarga, mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa, menunda kehamilan anak pertama bila telah terjadi perkawinan dini, sampai di usia 21 tahun.
Berdasarkan Permendesa PDTT No 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2021, disebutkan bahwa salah satu prioritas penggunaan dana desa untuk program prioritas nasional sesuai kewenangan desa adalah pencegahan stunting di desa melalui pengasuhan anak di keluarga termasuk pencegahan perkawinan anak. Disamping itu, adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan peluang wewenang penuh bagi pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga bisa bertanggung jawab atas tata kelola pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.
Penyusunan perdes pencegahan dan penanganan perkawinan anak adalah wujud komitmen dalam menurunkan perkawinan anak. Perdes ini ini bisa berdiri sendiri atau diintegrasikan dengan Perdes Layak Anak, berisi strategi pencegahan, pengaduan dan penanganan perkawinan anak, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah desa, masyarakat, orang tua serta hak dan peran anak dalam pencegahan perkawinan anak, serta adanya monitoring, evaluasi dan alternatif sangsi denda. Sudah ada contoh Perdes pencegahan perkawinan anak yaitu yang ada di Desa Bialo dan Desa Padende, Kabupaten Sigi.
Sesungguhnya yang berjalan sejauh ini peraturan pencegahan perkawinan anak mulai dari penyaringan sampai dengan dispensasi kawin sudah melalui proses yang ketat. Sedangkan permasalahan utama yang terjadi adalah adanya KTD dan hubungan seks di luar nikah. Penting kiranya jika dilakukan pendekatan secara sosio kultural dibandingkan pendekatan secara legal. Sebab, regulasi seperti apapun saja tidak cukup dan sangat sulit mencegah pernikahan anak usia dini. Sebab yang berkembang di tengah masyarakat sekarang, pernikahan seolah menjadi satu-satunya solusi dan dianggap penyelamat kehormatan keluarga. Karena bagi sebagian orang, terutama orang tua, melihat bahwa pernikahan ini akan menyelamatkan muka mereka. Yang kita cegah adalah penyebab utamanya yaitu KTD. Dibuat peraturan seperti apapun kalau sudah terjadi KTD itu akan sulit mencegah terjadinya perkawinan. Sejauh mana Pengadilan Agama itu bisa menolak, pada kenyataannya yang ditolak sangat sedikit, karena sudah terjadi KTD sehingga Pengadilan Agama pun kesulitan.
Maka penting bagaimana caranya membentengi nilai-nilai moral kaum muda sekarang dengan nilai-nilai warisan budaya leluhur, bagaimana memberikan edukasi kepada remaja untuk tidak tergesa gesa berpacaran di usia muda, bagaimana membuat program kegiatan yang positif untuk kaum muda. Adanya keterlibatan remaja/anak muda dalam berbagai kegiatan, diajak diskusi atau rembugan, kegiatan olahraga, musik, permainan tradisional, berkebun, kerajinan, aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Dalam permasalahan ini, poktan seperti PIK-R dapat memainkan peran yang strategis mengingat di dalamnya terdapat kegiatan yang bersifat edukatif, komunikatif, pengayaan skill/ketrampilan, pembinaan mental, dsb untuk persiapan kehidupan berumahtangga bagi remaja (PKBR). Program-program di PIK-R perlu dioptimalkan untuk mengintensifkan pemahaman kepada anak-anak muda (pengurus dan anggota PIK-R) di usia dini supaya tidak sampai terlibat dalam pergaulan yang berakhir kepada KTD. Melalui PIK-R ini remaja dikondisikan dengan kegiatan-kegiatan yang menarik untuk mengalihkan perhatiannya supaya tidak terjerumus atau berpacaran di usia muda. Harus ada kegiatan-kegiatan pengalihan yang positif dan berdampak, seperti: kesenian, olahraga, wirausaha, public speaking, dan sebagainya.
2. Jarak Kelahiran Jangan Kurang dari 3 Tahun
Dikutip oleh mediaindonesia.com, edisi 5 Maret 2021, sebuah studi dari Tata-Cornell Institute for Agriculture and Nutrition (TCI) mengungkapkan jeda kelahiran yang tepat dapat membantu mengurangi kemungkinan stunting pada anak-anak.Untuk keperluan tsb, memang sebaiknya sehabis persalinan seorang ibu segera mengikuti program KB, dengan tujuan supaya tidak terjadi kehamilan berikutnya dalam jarak yang tidak ideal. Dalam budaya Jawa, ada istilah “kesundulan”, yakni ketika seorang bayi yang baru lahir disusul oleh kelahiran adiknya pada jarak yang dekat, atau bahkan sangat dekat, ketika dia belum maksimal dalam konsumsi ASI ibunya.
Dengan segera mengikuti program KB, potensi “kesundulan” bisa dicegah sedemikian rupa, sehingga bayi bisa mendapat asupan ASI dan pengasuhan dari orangtuanya secara maksimal.
Pertanyaannya kemudian, jika tujuan KB pasca salin adalah untuk memberi kesempatan ibu memberikan ASI dan pengasuhannya secara maksimal, dibutuhkan berapa lama? Pertanyaan persisnya, sampai kapan konsumsi ASI itu berlangsung? Atau, pertanyaan lainnya dalam hal ini: kapan alat atau obat kontrasepsinya bisa dihentikan karena ingin menambah anak?
Jawaban atas 3 pertanyaan itu sama: ketika si bayi sudah berumur 2 (dua) tahun, atau berusia 1000 hari dihitung sejak pertemuan antara ovum dan sel sperma yang menjadi cikal bakal dirinya.
Dan ternyata, masya Allah, dunia kedokteran modern membuktikan bahwa ASI yang diberikan selama dua tahun terbukti menjadikan bayi lebih sehat, menjadikan bayi mengalami proses tumbuh-kembang dengan baik. Menurut penelitian, sebagaimana dikutip oleh Febria Silaen dalam, “Manfaat Menyusu Hingga 2 Tahun,” pada laman www.beritagar.id edisi Sabtu, 05 Agustus 2017, bahwa untuk anak usia 2 tahun, kandungan zat imun dari ASI masih dapat melindunginya dari penyakit, karena anak-anak di atas usia 1 tahun pada umumnya terpapar lebih banyak daripada saat masih bayi.
3. Jumlah Anak Ideal; Dua Anak Lebih Sehat
"Dua anak cukup atau dua anak lebih sehat itu adalah kenyataan. Walaupun tidak diprogramkan, secara medis itu memang lebih sehat dibandingkan punya tiga anak atau lebih," kata Hasto.
Menurut data-data ilmiah, angka kematian ibu lebih tinggi saat melahirkan untuk ketiga, keempat atau kelima kalinya. Selain itu, risiko kematian bayi juga meningkat pesat di anak ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
"Jadi, dua anak cukup ini bukan soal local genious atau budaya tapi cenderung masalah biologis saja. Dua anak cukup itu bukan bahasa program melainkan bahasa kedokteran karena kalau melahirkan tiga anak banyak ibu meninggal karena pendarahan," lanjut Hasto.
Hasto menjelaskan ketika seorang wanita hamil anak ketiga maka kondisi rahim lebih kendur dibandingkan saat hamil pertama dan kedua. Kondisi itu membuat ibu melahirkan secara spontan di kehamilan ketiga cenderung kontraksi lebih sulit, sehingga pendarahan lebih banyak.
Hamil di usia 35 tahun, baik untuk kehamilan pertama maupun kehamilan selanjutnya, tergolong kehamilan di usia tua. Wanita yang hamil di usia tersebut umumnya lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan selama mengandung. Risiko ini juga bisa terjadi pada janin.
Perubahan hormon juga bisa berdampak pada masa subur atau ovulasi dan peningkatan risiko terjadinya penyakit tertentu, seperti endometriosis yang dapat memengaruhi kesuburan.
Tak hanya itu, ada beberapa risiko yang dapat dialami oleh wanita yang hamil di usia tua, antara lain:
Berbagai riset menunjukkan bahwa ibu hamil yang berusia 35 tahun atau lebih berisiko melahirkan bayi dengan kondisi cacat bawaan lahir atau kelainan genetik, seperti downsyndrom, penyakit jantung bawaan, polidaktili, dan bibir sumbing.
Wanita yang hamil di usia 35 tahun atau lebih tua juga diketahui lebih rentan mengalami keguguran. Beberapa riset menunjukkan bahwa wanita yang hamil usia tua lebih berisiko mengalami keguguran hingga 20–35%, jika dibandingkan dengan wanita yang hamil di usia lebih muda.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari kelainan genetik pada janin, kondisi kesehatan ibu yang kurang baik, atau riwayat keguguran sebelumnya.
Wanita yang hamil di usia tua lebih berisiko melahirkan bayi prematur atau lahir dengan berat badan rendah. Hal ini bisa menyebabkan bayi mengalami berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan, daya tahan tubuh lemah, hingga terhambatnya tumbuh kembang.
Wanita yang menjalani kehamilan di usia 30-40 tahun rentan mengalami berbagai komplikasi kehamilan, seperti diabetes gestasional dan preeklamsia. Risiko ini akan semakin meningkat bila pernah mengalami kondisi serupa pada kehamilan sebelumnya.
Wanita yang berusia lebih tua saat hamil juga lebih rentan mengalami gangguan selama persalinan, sehingga diperlukan operasi caesar. Selain itu, riwayat operasi caesar sebelumnya juga bisa membuat wanita yang hamil di usia tua perlu melahirkan dengan metode yang sama.
0 Comments