Triad KRR yang digadang oleh PIK-R di Kabupaten Gunungkidul mencakup segala usaha penyelesaian masalah pernikahan dini, seks pranikah, dan penyalahgunaan napza. Tiga perkara utama ini dinilai menjadi biang kerok mandulnya produktivitas pemuda. Dengan dalil tersebut, didoronglah pertumbuhan PIK-R di setiap wilayah (kapanewon) untuk mengampanyekan program-program yang dapat menyelesaikan 3 masalah tersebut, diantaranya seperti penyuluhan kesehatan reproduksi, seksualitas, penyimpangan perilaku, bahaya napza dan lain sebagainya.
Selain itu, PIK-R juga diberikan hak otonomi untuk membuat inovasi program-programnya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya seperti pelatihan sablon, pembuatan konten media sosial, dll. Program-program itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran remaja akan bahaya triad KRR dan sekaligus dapat meningkatkan produktivitas yang bernilai ekonomis. Program-program tersebut tentu positif, namun dalam hal evaluasi, apa yang lebih ditekankan adalah akurasi, efektivitas, dan efisiensi dari pelaksanaan konsepnya.
Kita dapat mengetahui dengan penalaran sederhana bahwa 2 masalah dari Triad KRR memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu seks pranikah dan pernikahan dini. Seks pranikah melahirkan masalah hamil di luar nikah dan hamil di luar nikah melahirkan masalah pernikahan dini, juga aborsi. Dari pernikahan dini itu lahir lagi turunan-turunan masalah seperti risiko stunting pada anak, keterbengkalaian anak, meningkatnya kasus perceraian, masalah ekonomi keluarga, dll. Meski seks pranikah sering berdampingan dengan penggunaan napza, masalah napza ini tumbuh pada ranting yang berbeda. Tidak seperti seks pranikah dan pernikahan dini, penyalahgunaan napza tidak berlandaskan cinta, tetapi karena lemahnya kepribadian untuk mengatasi stres masalah kehidupan sehingga berujung pada pelarian dengan napza.
Segala sesuatu tidak muncul dengan sendirinya. Segala sesuatu yang berada dalam alam dunia terikat dengan hukum sebab akibat dan holistik yang berarti bahwa segala sesuatu saling berhubungan dan saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung, secara signifikan maupun insignifikan. Oleh karena itu, dengan melacak setiap masalah Triad KRR, pada akhirnya dapat ditemukan interseksi yang menghubungkan ketiganya. Pada interseksi itulah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan Triad KRR perlu dikerahkan demi terwujudnya solusi yang akurat, efektif, dan efisien.
Pernikahan dini dan seks pranikah
Dimulai dari pernikahan dini dan seks pranikah. Pernikahan dini setidaknya disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu antara kultur sosial atau karena hamil di luar nikah. Hamil di luar nikah disebabkan oleh seks pranikah. Meskipun perkosaan bisa menjadi penyebab alternatif, namun persepsi umum pun telah dapat menilai bahwa seks pranikah yang dilandasi suka sama suka akan memiliki porsi yang lebih banyak. Mulai dari sini, penilaian akan menjadi lebih sulit karena adanya peluang bias persepsi sehingga perlu ditanyakan beberapa pertanyaan untuk menjadi landasan asumsi berpikir.
Pertama, apakah masuk akal 2 remaja putra dan putri yang tidak saling menyukai melakukan hubungan seksual secara sukarela? Meski mungkin saja terjadi karena alasan luar biasa tetapi kita juga sudah memahami bahwa hal yang demikian tidak masuk akal dalam keadaan normal. Kedua, disebut apakah status 2 remaja laki-laki dan perempuan yang melakukan seks karena landasan suka sama suka? Apakah status mereka teman sebangku sekolah? Teman kelompok belajar? Seperti terbitnya matahari dari timur, kita tidak perlu riset untuk mengetahui hal ini bahwa umumnya (katakan saja 90%-an) status mereka adalah pacaran. Cerita tentang sepasang kekasih yang menikah muda karena pacaran “kebablasan” hampir dapat ditemukan dimana saja. Artinya, pacaran adalah gerbang terbesar menuju seks pranikah, kehamilan luar nikah dan pernikahan dini.
Hal ini dapat dikorelasikan dengan apa yang disampaikan oleh Barwanto, Humas Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul, bahwa terdapat 79 pasangan yang mengajukan dispensasi nikah dini pada tahun 2018. Sebab terbanyak karena hamil di luar nikah. Oleh sebab itu, cukup aneh apabila sesuatu sebesar pacaran seolah-olah tidak dipandang sebagai sumber masalah yang berusaha dipangkas. Seolah-olah, orang begitu semangat memangkas daun padahal semua daun itu bisa jatuh dengan memotong dahan atau justru batang pohonnya.
Mengkritisi Pacaran
Melihat fenomena pacaran kurang lebih sama sensasinya seperti melihat sampah yang berceceran di jalanan. Kita merasa heran dan risih, tetapi enggan untuk memikirkan kenapa semua itu dapat terjadi, apakah kita terlibat sebagai faktor penyebab atau tidak, atau bagaimana cara memperbaiki situasi. Semua berjalan begitu saja hingga tiba pada suatu titik dimana dampaknya terlalu parah untuk dapat diperbaiki seperti sebagaimana mestinya. Pada titik inilah tanpa sadar tumbuh keputusasaan yang mendorong kebanyakan orang untuk terpaksa memaklumi demi mendapat ketenangan hati, bahkan menerima itu sebagai kebenaran sehingga ikut-ikutan membuang sampah sembarangan sebagai contohnya. Dalam hal ini, antara toleransi atau tidak peduli jadi beda-beda tipis.
Setelah permasalahan seks pranikah dan pernikahan dini ditarik ke belakang pada masalah pacaran, akhirnya pacaran berada pada kedudukan yang sama dengan napza. Sekilas, pacaran dan napza memang tidak terlihat persamaannya karena persamaan keduanya berada dalam alam yang tidak terlihat, yaitu otak. Pacaran dan napza sama-sama melibatkan kerja otak yang melibatkan hormon dopamin. Hormon ini bertugas untuk memberi sensasi kepuasan. Hormon ini bekerja pada struktur jaringan syaraf yang disebut reward and reinforcement system, wilayah yang bermasalah pada orang-orang yang mengalami kecanduan. Kecanduan rokok, miras, media sosial, pacaran, heroin, kokain, dan semua jenis kecanduan pada prinsipnya sama hanya bentuknya saja yang berbeda. Efek dopamin pada dasarnya adalah untuk membantu seseorang mengingat apa-apa saja yang dapat membuatnya merasa senang dan puas sehingga termotivasi untuk mencarinya lagi dan lagi.
Mari bandingkan kecanduan pada pacaran dan napza. Prinsip pertama kecanduan adalah adanya toleransi. Toleransi pada dasarnya adalah menurunnya kepekaan reseptor dopamine dalam otak yang imbasnya adalah seorang pecandu lebih sulit mendapatkan kepuasan pada dosis yang sama. Awalnya seorang pengguna napza bisa mendapatkan kepuasan hanya dengan sekali pakai saja tapi lama kelamaan satu kali tidak cukup sehingga harus menambah dosis menjadi 2x, 3x, 4x, dan seterusnya. Proses ini akan terus berlanjut hingga si pecandu berhenti karena mati overdosis.
Dalam kasus pacaran pun sama. Awalnya hanya pegangan tangan tapi lama kelamaan pegangan tangan tidak bisa lagi menghadirkan perasaan nyaman dan kepuasan sehingga harus tambah dosis dari pegangan tangan menjadi pelukan, dari pelukan menjadi ciuman, dari ciuman menjadi foreplay dan akhirnya dari foreplay menjadi hubungan seksual di luar nikah. Meski bukan kematian, namun dampak akhir dari pacaran ini dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar. Itu karena para pelaku masih hidup namun memiliki kecenderungan untuk berperilaku menyimpang sehingga merugikan lebih banyak pihak pada rentan waktu yang lebih lama. Contohnya seperti apa yang dikhawatirkan dari dampak pernikahan dini seperti stunting, pengabaian anak, parenting yang buruk menyebabkan berlanjutnya generasi yang buruk, masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dll.
Prinsip kedua adalah ketergantungan. Disebut ketergantungan ketika seseorang baru bisa mendapatkan kestabilan jika mengonsumsi napza. Salah satu ciri-cirinya adalah tidak bisa fokus. Dalam hal ini, lebih mudah menggunakan rokok sebagai contohnya. Kerapkali para perokok mengalami gangguan konsentrasi dan perasaan tidak tenang, tidak nyaman, jika terlalu lama tidak merokok dalam sehari. Itu artinya, dia membutuhkan rokok untuk merasa normal dan nyaman kembali. Sama halnya dengan orang yang sedang kasmaran saat pacaran dimana konsentrasinya terganggu karena selalu kepikiran si doi. Rasanya ingin ketemu dan rindu. Dalam kisah cinta, rindu memang terdengar mesra tapi dalam bahasa biologi itu bisa menjadi ciri-ciri ketergantungan.
Prinsip ketiga dari kecanduan adalah withdrawal atau disebut juga sakaw pada kasus pemberhentian mendadak penggunaan napza. Withdrawal adalah sensasi (sangat) tidak nyaman karena tidak bisa menggunakan napza. Sebagian pecandu bisa sampai menyayat-nyayat tangannya sendiri untuk menghisap lagi darahnya yang masih mengandung napza di dalamnya. Pada titik terendah, seorang pecandu bisa bertingkah seperti orang gila karena tidak dapat mengonsumsi napza.
Hal yang sama terjadi pada orang yang pacaran. Ingat saja saat di mana sedang kasmaran tetapi kehabisan kuota jadi tidak bisa chattingan, sangat tidak nyaman. Tetapi, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan momen orang saat mengalami patah hati. Patah hati biasa terjadi saat sepasang kekasih putus karena sebab yang tidak diinginkan. Momen ini sangat berat, penuh dengan air mata dan bahkan ada yang sampai menyayat-nyayat tangannya pula. Momen putus ini adalah saat di mana sepasang kekasih tidak dapat lagi mencari kepuasan dari pasangannya sehingga muncullah simtom withdrawal. Dalam fase ini, kadar dopamin sedang drop yang pada waktu bersamaan menyebabkan depresi, kecemasan dan mager.
Yang tidak kalah menarik adalah relapse atau kumat. Para mantan pecandu napza yang sudah lama berhenti pada sewaktu-waktu mengalami kerinduan untuk menggunakan napza lagi sehingga kumat. Sama halnya dengan fenomena dalam pacaran yang kita sebut dengan kelingan mantan yang dapat berujung dengan balikan karena cinta lama bersemi kembali. Itulah kesejatian dari pacaran yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Pacaran bisa diibaratkan sebagai kanker yang di satu sisi menyebabkan disfungsi kerja tubuh dan di sisi lainnya menjadi indikator bahwa seseorang memiliki kesalahan gaya hidup yang menyebabkan tumbuhnya kanker. Identik dengan napza untuk pelarian, pacaran juga dapat diartikan sebagai jalan pelarian bagi mereka yang merasa kurang kasih sayang dari keluarganya. Mengingat pacaran ini termasuk dalam bagian kehidupan remaja yang ngetren, maka sudah sepantasnya kita memberikan perhatian lebih besar pada fenomena ini.
Masa-masa pacaran berbarengan dengan masa para remaja mencari jati diri dan masa sekolah. Masa pacaran berada pada masa emas para remaja untuk membentuk kebiasaan positif dan produktif. Perlu diketahui bahwa masa pemaksimalan otak berlangsung hanya sampai usia 20 tahunan. Selepas dari itu, otak memang masih bisa terus berubah dan berkembang namun tidak akan sesignifikan pada masa emasnya.
Masa-masa remaja itulah masa terbaik untuk memaksimalkan perkembangan diri serta untuk menetapkan kebiasaan-kebiasaan baik sebagai manusia yang ideal agar terekam secara permanen oleh otak. Permasalahannya adalah apakah pacaran ini membantu para remaja untuk memaksimalkan potensi remaja? Jawabannya tidak. Itu karena salah satu kualitas karakter yang perlu dikembangkan setiap orang adalah kemampuan mengendalikan diri sedangkan pacaran bekerja dengan bagian otak yang senantiasa menginduksi dengan nafsu dan hasrat untuk dipuaskan. Proses pacaran lebih cenderung mengganggu proses perkembangan diri ketimbang membantu. Belum lagi bila dihitung dari waktu yang terbuang untuk kencan, chatting, dan ngelamunin si doi lagi ngapain. Itu semua gara-gara pacaran memberi hadiah dopamin bagi para pelakunya.
Lebih jauh lagi, pacaran terjadi pada usia belum siap kawin. Oleh karena itu, para pelaku pacaran pun saling sama-sama tahu bahwa masih memungkinkan bagi mereka untuk putus dan berganti pasangan jika ditemukan ketidakcocokan dengan pacarnya yang sekarang. Itu sebabnya, komitmen untuk mengembangkan kompatibilitas bersama tidak terbentuk dalam pacaran karena jarak menuju usia siap kawin yang masih panjang. Hilangnya komitmen inilah yang membuat remaja tidak terlatih dalam mempertahankan rumah tangga di saat waktunya tiba nanti. Di samping itu, komitmen dalam pacaran itu sendiri tidak bisa dipaksakan dengan ikatan pacar mengingat mereka masih terlalu muda, tidak berpengalaman, kurang pengetahuan, dan kurangnya relevansi dengan kehidupan akademik mereka.
Hal itu jelas berbeda kasusnya dengan ikatan pernikahan orang dewasa yang memaksa pasangan suami-istri untuk tetap berkomitmen mempertahankan rumah tangga meski terdapat ketidakcocokan dengan cara menoleransi atau dengan berkembang bersama. Hanya karena remaja menjadi senang, bukan berarti bahwa pacaran dapat dibenarkan. Bila aktivitas pacaran ini dikalikan dengan jumlah pelaku dan masa pacarannya maka kita bisa merasakan kerugian yang lebih besar seperti polusi dari kendaraan saat kencan, banyaknya sampah makanan, polusi plastik, seretnya perekonomian karena banyaknya pemuda yang tidak produktif, meningkatnya kriminalitas, kurangnya partisipasi pemuda dalam pembangunan sosial-masyarakat, miskin inovasi dan dampak buruk lain yang berakibat pada semakin lamanya bangsa ini berada pada status negara berkembang karena tidak maju-maju.
Adanya ungkapan pacaran sehat tak lebih dari sekedar angan-angan yang tidak mungkin diwujudkan karena pacaran itu sendiri adalah penyakit. Ibarat orang yang telah terlanjur menderita diabetes maka istilah sehat baginya adalah dengan mengatur konsumsi gula, olah raga teratur, dan mengatur gaya hidup lain yang tentu tidak semenyenangkan orang yang sehat. Sama dengan sakit diabetes, pacaran membuat segala sesuatu yang seharusnya mudah menjadi lebih sulit dilakukan.
0 Comments