Dalam
rangka memperingati Harganas 2019, Perwakilan BKKBN DIY mengadakan seminar
sehari, dengan mengambil tema merujuk pada tagline
Harganas itu sendiri: “Hari Keluarga, Hari Kita Semua; Cinta Keluarga Cinta
Terencana.” Acara ini diselenggarakan di Lt 2 Hotel Neo Awana Jl Jend Sutoyo
Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh jajaran structural Perwakilan BKKBN DIY,
dinas terkait tingkat provinsi dan kabupaten/kota, PKB, kader-kader Poktan,
pengurus Fapsedu, serta tokoh masyarakat dan tokoh agama se Provinsi DIY.
Kepala
Perwakilan BKKBN DIY, Rohdiana Sumariati, SSos, MSc, dalam kata sambutannya
menyampaikan bahwa acara ini dilaksanakan memang dalam rangka memperingati
Harganas, sebelum nanti ada acara puncak peringatan Harganas tingkat DIY di
Kulonprogo, Kamis (1/8). Dengan acara seminar kali ini, ujar Rohdiana, kiranya
dapat dipetik suatu refleksi baru serta momentum untuk pembangunan keluarga di
era digital seperti sekarang.
Sekda DIY,
Ir Gatot Saptadi, dalam sambutannya pertama-tama menyampaikan apresiasi atas
terselenggarakannya acara ini, karena ini bagian dari upaya kita untuk
menganalisis dan mengatasi permasalahan-permasalahan kita yang terkait dengan
kependudukan dan pembangunan kelauarga. Sekda DIY juga menekankan bahwa angka
kelahiran di negara kita relatif tinggi yakni di kisaran 4-5 jutaan per tahun,
atau pertumbuhan 1,3 persen. Data BPS tahun 2015 menunjukkan bahwa penduduk
kita berjumlah 254,9 juta jiwa. Suatu populasi yang besar, menurut Gatot, jika
tidak dikelola dengan baik akan memunculkan masalah-masalah besar seperti: pengangguran,
pemusatan penduduk (misal: hanya di Jawa), penduduk usia sekolah yang
meningkat, serta perumahan yang kumuh.
Program
KB, menurut Gatot, sekian lama ini telah menjadi kebijakan penting untuk
mengatasi persoalan kependudukan, khususnya terkait dengan laju pertumbuhan
penduduk. KB bertujuan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Sehingga, sangat tepat, meski di era otonomi daerah seperti sekarang ini,
urusan KB tetap menjadi urusan wajib setiap pemerintah daerah. “Tugas kita
semua adalah mengubah pola piker masyarakat, sehingga mereka menyadari bahwa KB
adalah sebuah kebutuhan hidup, KB adalah gaya hidup,” papar Gatot.
Pemateri
pertama seminar, drg Wid Wiyono, yang mewakili Deputi KBKR BKKBN Pusat, Dr Ir Dwi Listyawardani, MSc, Dip Com,
memaparkan terutama tentang fenomena tidak stabilnya TFR kita, yakni
dikarenakan tingginya angka kesertaan KB suntik sebesar 53%, di mana di
dalamnya 46%-nya adalah KB suntik 1 bulanan. Angka ini rawan sekali yang
menyebabkan tidak stabilnya TFR. Disampaikan juga bahwa Unmet Need kita masih
tinggi, yakni 12%, padahal idealnya 5-7%. Wid juga prihatin, bahwa dari 48 ribuan
dokter dan bidan yang sudah dilatih, hanya 20%-nya saja yang mendapatkan
sertifikat dalam pelayanan berkualitas (khususnya pemasangan IUD, implant, dan
MOW-MOP). Wid mengatakan bahwa di Indonesia ada 5 juta kelahiran per tahun, dan
67% persalinannya di fasilitas kesehatan. “Oleh karena itu, ini merupakan potensi
yang penting bagi kita meningkatkan kesertaan KB, yang dengan membidik ibu-ibu
yang bersalin untuk mengikuti KB pasca salin. PKB harus bekerjasama dengan bidan.
Dan Alhamdulillah, data terakhir, 73% pelayanan KB dilayani oleh bidan. Ini
harus terus ditingkatkan,” ujar Wid.
Pemateri kedua, dr Eugenius Phyowai Ganap, Sp OG (K), dari RSUP dr Sardjito, memaparkan sebuah angka mengejutkan bahwa setiap satu jam ada 2 orang ibu di Indonesia yang meninggal dunia dalam fase komplikasi hamil-melahirkan-nifas (hamil sd 42 nifas). Per hari ada 50 kasus. “KB adalah salah satu cara untuk mencegah kematian ibu, untuk menurunkan AKI (angka kematian ibu), karena dengan KB berarti tidak ada kehamilan; jika tidak hamil berarti tidak ada komplikasi, dan jika taka da komplikasi berarti tidak ada kematian,” ujar dokter kelahiran Myanmar itu. Ganap juga menekankan perlunya integritas para PKB. Artinya, kita jangan menjadi “jarkoni”, mengajak orang untuk cukup punya dua anak, tetapi kita sendiri tidak memberi contoh.
Pemateri
terakhir, Dyah Sulung Safitri, SIP, dari Global Peace Youth Indonesia,
menegaskan bahwa dari sudut pandang kaum milenial, perdamaian dunia bukan lagi
dipahami dalam kerangka konvensional tentang tidak adanya peperangan. “Kedamaian,
menurut kaum milenial, adalah tentang strong
family, yang itu berarti dimulai dari lingkup keluarga,” ujar Dyah.
Keluarga
yang kuat, menurut Dyah, setidaknya terwujud dengan besaran keluarga yang
minimalis. Dalam hal ini, ujar Dyah, “kita semua merasakan kontribusi yang
besar dari program KB, karena per 2010 saja, setidaknya kita telah menggagalkan
80 juta kelahiran di Indonesia sejak kali pertama KB dicanangkan (tahun
1970-an).”
Selanjutnya,
berbicara dalam konteks isu perdamaian global, Dyah membedakan antara true love (cinta sejati) dan pure love (cinta murni). Cinta sejati
adalah cinta kita kepada semua manusia tanpa membedakan latar belakang,
termasuk cinta kita kepada lingkungan sekitar (alam). Cinta sejati inilah yang
menjadi dasar bagi perdamaian dunia. Sedangan cinta murni, adalah cinta kita
kepada pasangan kita, hanya kepada pasangan kita, dan tak akan dibagikan kepada
yang lain. “Cinta murni inilah yang menjadi dasar bagi ketahanan sebuah
keluarga,” ujar Dyah.
Terakhir,
Dyah mengungkap bahwa di DIY saja ada 4900 penderita HIV/AIDS. Itupun baru yang
terdeteksi, belum termasuk yang tidak terdeteksi (memeriksakan diri kef askes).
“Yang memprihatinkan, 50%-nya adalah usia produktif (22-29 tahun). Sehingga,
ini menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk bersama-sama menanggulanginya,”
pungkas Dyah.(*) [Sabrur Rohim, Pimred
Cahaya Keluarga & PKB Girisubo]
0 Comments