Lansia, ketika
kita mendengar kata itu, yang terbayang di benak adalah seorang yang renta
tiada semangat untuk berkreasi, apalagi berinovasi. Apa yang terjadi dengan Hadi
Supiyanto justru sebaliknya. Dari sosoknyalah kita mendapatkan ilmu kehidupan
yang luar biasa. Sosok lansia ini sungguh memberikan inspirasi bagi kita yang
masih muda sebagai calon lansia kelak, juga pada lansia yang sebayanya saat
ini.
Usia Saya Baru 87 Tahun
Hadi Supiyanto, atau lebih familier dengan sebutan
Mbah Hadi, adalah sosok lansia tangguh yang berusia 87 tahun. Beliau lahir pada Bulan
Nopember tahun 1932. Yang membuat tertegun lagi adalah ketika kami (Redaktur Cahaya Keluarga) mendatangi rumah
beliau, tepatnya di Padukuhan Temuireng, Desa Giripanggung, Kecamatan Tepus,
dan kami tanya berapa usianya, Mbah Hadi menjawab dalam bahasa Jawa:“Umur kula nembe 87 tahun…!” atau dalam
bahasa Indonesianya: “Usia saya baru 87
tahun…!” Kata-kata nembe atau
baru itu menggambarkan betapa Mbah Hadi seseorang memiliki semangat dalam
mejalani kehidupan ini. Sosok Mbah Hadi kami angkat sebagai profil lansia
tangguh bukan tanpa alasan, banyak hal yang sangat inspiratif untuk bisa diteladani dari perjalanan hidup dan
kepribadiannya.
Takut Jaga Malam, DO
Mbah Hadi Supiyanto kecil terlahir dari kalangan
rakyat biasa yang berada di wilayah Desa Giripanggung dengan karakteristik
wilayah pegunungan dengan kondisi pada saat itu belum ada air PAM ataupun
listrik. Beliau mengenyam pendidikan hanya sampai setaraf SD atau dulu disebut
dengan SR (Sekolah Rakyat) yang berada di Kecamatan Semanu. Setelah menamatkan
SR, kemudian Mbah Hadi melanjutkan ke SMP Netral di Daerah Wonosari yang (kelak)
menjadi kota kabupaten di Gunungkidul. Tetapi karena mendapatkan tawaran untuk
menjadi siswa di laboratorium bidang kesehatan,
Mbah Hadi keluar dari Sekolah Netral dan melanjutkan sekolah di bidang
kesehatan setara SLTP. Di sini pun Mbah Hadi tidak sampai selesai, dikarenakan
Mbah Hadi takut ketika harus jaga malam di rumah sakit atau klinik.
Kemudian Mbah Hadi
bertemu dengan seorang teman dari Kulonprogo. Olehnya, diajaklah Mbah Hadi bekerja
sebagai jaga malam di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada tahun 1957 yang
selanjutnya menjadi Pegawai Tata Usaha. Kemudian, ketika di Desa Giripanggung
ada lowongan jabatan sebagai Kasi Kemakmuran, kalau sekarang Kasi Ekobang, Mbah Hadi dijemput pulang oleh bapaknya dan
kepala desa dikala itu untuk kembali ke Desa Giripangung dan mendaftarkan diri
dalam jabatan tersebut.
Pada tahun 1959
Mbah Hadi menikah dengan gadis pujaannya yang bernama Wagiyem yang berasal dari
padukuhan tetangga, yaitu Padukuhan Trenggulun. Dari hasil pernikahannya, Mbah
Hadi dikaruniai putra putri sebanyak 7 orang, namun saat ini tinggal 6 orang,
dikarenakan seorang putra Mbah Hadi meninggal dunia akibat sakit yang diderita.
Bertransmigrasi
Ketika menjabat sebagai Kasi Kemakmuran, Mbah Hadi
mendapatkan tawaran untuk transmigrasi dari Sapar, pegawai Dinas Transmigrasi.
Akhirnya dengan pertimbangan untuk bisa memberi contoh dan motivasi warga agar
ikut program pemerintah, Mbah Hadi memutuskan ikut menjadi pengantar masyarakat
sebanyak 43 KK bertransmigrasi ke Sumatra Barat pada bulan Agustus tahun 1982
bersama istrinya dan kedua anaknya yang memang terlahir disana. Anak-anak yang
lain ditinggal untuk tetap sekolah di Gunungkidul dengan tinggal di rumah
sewaan (kos-kosan). Ketika mengirimkan uang untuk anak-anaknya, dia harus
berjalan 25 km ke kantor pos yang ada di kota.
Setelah kurang
lebih 20 tahunan dan anak-anaknya telah
selesai kuliah, Mbah Hadi memutuskan kembali ke Jawa. Sebenarnya pada tahun
2002, Mbah Hadi diminta untuk menjadi pimpinan proyek di Bengkulu, tetapi
istrinya tidak berkenan untuk pindah ke sana, maka tahun 2004 kembali ke tanah
kelahiran di Desa Giripanggung.
Anak-anak yang Sukses
Keenam putra dan putri Mbah Hadi hanya satu yang tidak
mengenyam bangku kuliah dikarenakan bertugas untuk “jaga tabon”, merawat simbah
atau orangtua dari bu Wagiyem. Kegigihan
Mbah Hadi telah menjadikan putra dan putri Mbah Hadi menjadi pribadi yang ulet
dan sukses. Putra pertama dari Mbah Hadi yang bernama Yanto, SH, pernah
mencalonkan diri menjadi calon bupati Gunungkidul, yang saat ini tinggal di
Jakarta dulu bekerja sebagai sekretaris di perusahaan tambang timah dan batubara
di Kalimantan. Anak yang kedua yang bernama Sulasih adalah anak yang bertugas
untuk “jaga tabon” dan satu-satunya anak yang tidak mengenyam bangku kuliah,
hanya saja anak-anak dari Ibu Sulasih ini semua telah menyelesaikan kuliah
dengan baik. Kemudian yang nomer tiga berwirausaha di kota Wonosari dan
memiliki toko plastik, sedangkan yang nomor empat meninggal dunia akibat sakit
dilehernya ada benjolan. Untuk anak yang kelima bernama Endang Bekti Suprihatin
seorang putri lulusan hukum tinggal di
Jakarta bersuamikan pegawai Jasamarga. Anak dari Mbah Hadi yang nomer enam,
lulusan S2, pernah menjadi asisten pribadi (alm) Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul
yang bernama Rahmat Triyanto, dan sekarang menjadi pimpinan tambak udang
diwilayah Semarang. Anak bungsu dari Mbah Hadi yang bernama Siti Amanah, saat
ini tinggal di Lampung dan bekerja sebagai guru.
Tak Sudi Repotkan Anak Cucu
Keberhasilan Mbah Hadi dalam membesarkan
putra-putrinya untuk meraih kesuksesan bukan hal yang mudah, perjalanan hidup
berliku sudah beliau tempuh mulai dari bekerja sebagai penjaga malam, pegawai
tata usaha, kemakmuran, kemudian memutuskan untuk bertransmigrasi dan akhirnya diusia
tuanya menghabiskan waktunya dengan bertani kembali menekuni pekerjaan yang
orangtuanya jalani.
Sejak memutuskan
kembali ke tanah kelahiran, yaitu Desa Giripanggung Kecamatan Tepus, Mbah Hadi
menekuni dunia pertanian dan perkebunan sebagai mata pencarian sehari-hari.
Mbah Hadi adalah sosok yang kreatif, ketika yang lain hanya memanfaatkan lahan
untuk ditanami padi, singkong dan jagung, tetapi Mbah Hadi juga menanam sayur
dan buah bahkan membeli gunung untuk ditanami waluh atau dikenal dengan nama
labu. Pada tahun 2013, Mbah Wagiyem sang istri wafat, sejak itulah Mbah Hadi
tinggal sendirian di rumah dan mencukupi semua kebutuhan baik masak, mencuci
dan berkebun sendiri dikarenakan semua anaknya sudah memiliki rumah sendiri.
Kesendirian Mbah
Hadi tidak membuatnya “nglokro” atau patah semangat, dia tetep menjadi sosok
lansia yang bahagia karena Mbah Hadi meyakini bahwa semua akan kembali kepada
Allah SWT. Ketika penulis bertanya tentang resep untuk selalu sehat jiwa
raganya, beliau menjawab, bahwa resep hidup yang membuat dia sehat adalah, “bahagia,
menerima semua pemberian Allah SWT dengan ikhlas entah itu besar atau kecil”.
Falsafah hidupnya
adalah, “ora arep gawe repot anak putu”, atau dalam bahasa Indonesia tidak akan
merepotkan anak dan cucu. Ini dibuktikan ketika tahun 2018 Mbah Hadi pergi ziarah
umrah ke Tanah Suci, beliau tidak mau dibiayai putra-putrinya, tetapi beliau
menanam pohon sengon, setelah usia 4 tahun sengon dijual seharga 22 juta dan
tanah dijual selama 2 tahun dengan total penjualan 30,5 juta, dijadikanlah uang
itu untuk menunaikan ibadah umrah. Mbah Hadi berkeyakinan ketika beliau umrah
dengan biaya yang diupayakan sendiri, maka pahala umrahnya akan menjadi
miliknya semua, tetapi ketika dibiayai anak-anaknya kata beliau pahala umrah
baginya hanya kebagian kecil.
Jika kita
berkunjung ke rumah Mbah Hadi, ada pemandangan lain dibanding dengan rumah-rumah
yang ada disekitarnya yaitu tanaman buah naga. Tanaman ini telah ditekuni sejak
tahun 2015. Ketika itu, orang lain tidak tertarik untuk mengembangkan tanaman
ini, tetapi Mbah Hadi dengan tekun dan kreatif menyulap pekarangannya menjadi
kebun buah naga. Mbah Hadi melakukan beberapa ujicoba sebagai inovasi
pengembangan buah naga dan hasilnya mencukupi kebutuhan sehari-hari Mbah Hadi.
Kedisiplinan Mbah Hadi terlihat dari catatan penjualan buah naga yang
terdokumen rapi di buku kecilnya. Eloknya, penjualan selama dua tahun jika diakumulasikan telah mencapai 17,6 juta dengan lahan
pekarangan yang ada di sekitar rumahnya itu. Bahkan Mbah Hadi tidak pelit dalam
membagikan ilmu bercocok tanam buah naganya, siapa yang ingin mengembangkan
buah naga dengan tangan terbuka memberikan bibit dan berbagi ilmu tentang cara
menanam.
Falsafah hidup
lainnya yang patut dicontoh dari sosok Mbah Hadi adalah “anti hutang”, dengan
hidup menjalankan apa yang diberikan. Dengan kata lain jika ada rezeki banyak
ditabung, jika rezeki sedikit maka jalankan sesuai yang didapat jangan melebihi
kemampuan. Fisik Mbah Hadi yang terlihat segar adalah imbas dari rasa bahagia
yang beliau ciptakan sendiri juga karena pola hidup sehatnya. Mbah Hadi tidak
merokok, setiap pagi sehabis subuh sudah beraktivitas. Makanannya pun sehat,
dengan menu favorit daun papaya dicampur
sambal bawang dan tempe goreng. Selain itu, beliau juga rajin beribadah. Setiap
malam Mbah Hadi bagun jam 2 untuk menjalankan sholat tahajud sebagai bentuk
ketaatan dan kepasrahan kepada Allah SWT.(*)
(Dwi Lestiyandari, AMd Gizi, SPdI, SIKom, PKB Kecamatan Tepus)
1 Comments
Promo www.Fanspoker.com :
ReplyDelete- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||