Oleh: Asar Janjang Lestari, SPsi, MAP*)
Keluarga adalah dua orang atau
lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan
yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman,
1998). Keluarga adalah kumpulan dua atau lebih individu yang berbagi tempat
tinggal atau berdekatan satu dengan lainnya, memiliki ikatan emosi, terlibat
dalam posisi sosial, peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan; serta
adanya rasa saling menyayangi dan memiliki (Murray & Zentner, 1997 dan
Friedman, 1998 dalam Allender & Spradley, 2001). Setiap keluarga memiliki
budaya, aturan dan pola yang unik. Idealnya sebuah keluarga adalah setiap
kelompok atau individu yang menyediakan lingkungan yang aman dan percaya yang
mendorong pembelajaran dan perkembangan yang sehat. Namun demikian tidak ada
keluarga yang kebal terhadap konflik, tantangan, ataupun stres.
Perempuan adalah bagian penting dalam keluarga.
Dalam kondisi konflik ataupun stress dalam keluarga, perempuan cenderung lebih
sensitif dan rentan terhadap perasaan emosional. Kerentanan dalam keluarga
rawan menimbulkan perasaan sakit hati. Perempuan cenderung lebih peka terhadap
hal ini, bahkan 10 kali lebih mungkin mengalami sindrom patah hati. Walaupun
demikian menurut penelitian perempuan cenderung lebih mudah pulih (fully
recovered) dari kondisi patah hati (pijar psikologi.org). Dalam kehidupan
keluarga, perempuan memiliki peran signifikan dalam membangun resiliensi
keluarga. Secara selintas kita menyaksikan fenomena kondisi perempuan dalam beberapa rumah
tangga, ada perempuan
yang tangguh dan ada perempuan
yang rapuh. Ada perempuan
yang kerap ditimpa masalah dan
cobaan dalam kehidupan keluarganya, namun sanggup dihadapi dengan penuh kedewasaan,
kesabaran dan ketabahan. Mereka tidak suka mengeluh, dan cepat pulih setelah
mengalami keterpurukan. Inilah perempuan
yang tangguh yang menjadi
salah satu faktor penentu kehidupan keluarga yang tangguh pula.
Namun
ada pula perempuan yang
begitu ditimpa masalah dan
cobaan dalam kehidupan keluarganya, begitu cepat mengeluh, dan tidak mampu
bangkit dari keterpurukan
sehingga kehidupan keluarganya mudah melemah
dan berantakan. Inilah perempuan
yang rapuh yang menjadi salah
satu faktor penentu ketahanan keluarga yang rapuh pula. Fenomena
perbedaan kondisi ketahanan keluarga
tersebut, ditentukan oleh
daya resiliensi dalam diri seseorang. Apabila suami dan istri memiliki daya
resiliensi yang tinggi, maka keluarga akan menjadi tangguh. Keluarga yang
resilien atau lenting mampu menghadapi setiap permasalahan dengan cepat dan
tepat, tanpa membahayakan kebaikan dan keutuhannya. Resiliensi (kelentingan)
merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap
perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Resiliensi sebagai kapasitas untuk
secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka
maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan
keluarga). Resiliensi adalah
kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan
Shatte, 2002).
Karakteristik Perempuan Yang Memiliki Resiliensi
Perempuan yang resilien memiliki insight yang
baik. Insight adalah kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada
situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal
dalam komunikasi. Perempuan
yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan
menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri
sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Selain itu, perempuan yang memiliki
resiliensi cenderung mandiri. Kemandirian ialah kemampuan untuk
mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup
seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Perempuan yang mandiri tidak bersikap
ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga
memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan. Perempuan yang
resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan
berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat.
Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak, yaitu
mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan orang lain yang mau terlibat secara
emosional. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan
beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa
dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu
ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik
saling memberi dan menerima. Inisiatif
menjadi ciri lain perempuan
resilien. Hal ini mengarah pada keinginan kuat untuk bertanggung jawab
akan hidup. Perempuan
yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam
pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat
diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal yang tak
dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka
yang mampu mengatasinya.
Perempuan resilien adalah pribadi yang kraetif.
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Perempuan yang resilien tidak terlibat
dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap
perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya
imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat
seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
Karakter lain dari perempuan yang memiliki
resieliensi adalah mempunyai jiwa humor. Humor adalah kemampuan untuk
melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan
kebahagiaan dalam situasi apapun. Perempuan yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang
tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat
saat-saat sulit terasa lebih ringan. Karakter resilien pada perempuan akan dikuatkan dengan moralitas yang
baik. Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Perempuan yang resilien dapat
mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan
pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam
membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas
dasar hati nurani.
Komponen Resiliensi
Resiliensi dibangun dari tujuh
kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara
keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Ketujuh kemampuan ini terdiri dari:
1. Regulasi Emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi
adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Perempuan yang memiliki kemampuan
meregulasi emosi dapat mengendali kan dirinya apabila sedang kesal dan dapat
mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan
suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan
hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian
emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu
kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua
hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan
fokus (foc using). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat
membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu
dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan
pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,
kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Perempuan dengan pengendalian
impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali
mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada
situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di
sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan
dalam hubungan sosial.
3. Optimisme
Perempuan
yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa
depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian
yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang
optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih
baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam
olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa
individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa
yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu
membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan
seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang
lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis,
1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami
orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang
yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif (Reivich & Shatté, 2002).
5. Analisis penyebab masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002)
mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah
yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu
untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya)
individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan
diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu
dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri)
atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu): individu yang
pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan
terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cend erung berpikir bahwa
ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang
kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua):
individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada
satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan
gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari
masalah yang ia hadapi. Perempuan
yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan
dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang
mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
6. Efikasi diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi
diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri
sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki
komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah keti ka menemukan
bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994),
individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan
yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan
cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7. Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi penin gkatan aspek positif dalam hidup .
Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek
ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak
realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu meli hat gambaran
besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan
Shatte, 2002)
Penutup
Resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah
terjadi dalam diri individu, termasuk
pada perempuan. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh
seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Dalam konteks ketahanan keluarga, ada
berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya seseorang pulih kembali ke
keadaannya yang semula, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari
lingkungan. Selain itu, ada faktor resiko maupun faktor pelindung. Faktor
resiko mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk, seperti kondisi
fisik yang kurang menguntungkan, kemiskinan, hubungan keluarga yang kurang
harmonis, serta pengalaman traumatis yang pernah dialami sebelumnya dan belum
teratasi. Sedangkan faktor pelindung bersifat menunda, meminimalkan, bahkan
menetralisir hasil akhir yang negatif. Misalnya kegigihan, optimisme, serta
dukungan dari lingkungan terdekat.
Dalam menjaga dan memperjuangkan ketahanan
keluarga, perempuan dengan resiliensi yang baik adalah individu yang
optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Perempuan seperti ini mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa
individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi
lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Pada perempuan yang seperti ini, resiliensi
keluarga akan terjaga, keluarga akan memiliki ketahanan yang optimal.
Refferensi:
·Black, K., & Lobo, M. (2008). Hitam, K.,
& Lobo, M. (2008). A Conceptual Review of Family Resilience Factors.
Journal of Family Nursing,
·Matthews, DW (2003). Matthews, DW (2003). Family
Resilience. North Carolina Cooperative Extension Service .
·Iowa State University (1995). Family Resiliency,
Building Strengths to Meet Life's Challenges. Iowa State University (1995)..
·http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi
-berbagai
sumber bacaan
*) Penulis adalah PKB Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul
0 Comments