Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI*)
Beberapa waktu yang lalu dunia
maya kita dikejutkan oleh aksi gantung diri yang dilakukan oleh seorang pria
warga Jakarta. Hebohnya lagi, aksi tersebut ditayangkan secara langsung melalui
aplikasi live streaming di sebuah
situs media sosial. Jadi jelas tertayang, detik-detik ia mempersiapkan aksinya
itu hingga akhirnya meregang nyawa. Penyebab aksi bunuh diri tersebut
sesungguhnya sepele, yakni karena ditinggal pergi oleh sang istri tercinta. Sang
pelaku bernama Indra, 36 tahun, sedangkan istrinya bernama DF, 33 tahun. Mereka
telah menikah selama 17 tahun dan dikaruniai 5 anak. Jika dihitung, berarti
saat mereka menikah dulu, Indra baru lulus SMA (19 tahun), sedangkan DF baru
lulus SMP (16 tahun). Sebuah usia yang masih sangat muda untuk masuk ke jenjang
perkawinan.
Dalam sejumlah media
daring dipaparkan, kemungkinan besar penyebab aksi nekad Indra itu adalah stres
dan depresi karena menghadapi kenyataan hidupnya yang pahit, dua di antaranya
adalah soal pekerjaan dan perilaku DF yang dianggapnya ‘nakal’. Indra sering
mengeluh pada tetangganya soal ojek online-nya
yang belakangan ini sepi penumpang. Sang istri yang asli Palembang juga sering
pergi entah ke mana meninggalkan dia dan anak-anak. Belakangan malah DF sering
mengunggah foto diri di media sosial dengan tampilan yang modis dan “menggoda”.
Pernah suatu kali DF tampil dengan dandanan rambutnya ala anak punk, sehingga
Indra sampai berkomentar: “Nakalnya istriku”.
Di hari naas itu, Indra
dan DF terlibat cekcok sengit, sampai-sampai DF berencana membakar
barang-barang. Penyebab cekcok itu, konon, adalah konten chatting di ponsel DF yang membuat Indra cemburu. Mereka sampai
meminta ketua RT setempat untuk menengahi percekcokan tersebut. Di depan Pak
RT, DF bertekad mau pisah (cerai) saja dari Indra. Pak RT menasehati mereka
berdua agar dewasa dalam menghadapi masalah. Cekcok rumah tangga itu biasa,
yang penting bagaimana bersikap dewasa dalam menyelesaikannya. Tetapi, DF tetap
tak bergeming. Selepas dari rumah Pak RT, mereka pulang sendiri-sendiri.
Diketahui, kemudian DF pergi, dan siangnya Indra mengakhiri hidupnya dengan
gantung diri. Dalam pesan terakhirnya ia mengatakan bahwa ia cinta mati kepada
DF, dan tayangan atau video bunuh dirinya itu adalah kenang-kenangan buat istrinya
itu.
Kejadian yang tidak
jauh berbeda pernah juga saya lihat sendiri, di desa binaan saya di pesisir
pantai selatan di wilayah Gunungkidul. Ada seorang ibu muda, sebut saja Bunga,
berusia 25 tahun, memiliki 4 orang anak yang masih kecil-kecil. Kok bisa? Bisa saja. Sebab, selepas
lulus SD (13 tahun sebelumnya) Bunga sudah menikah. Karena alasan demi
membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi), ia ikut program MOW atau
tubektomi. Saya sendiri yang mengantar ke rumah sakit untuk menjalani tindakan
operasi tubektomi tersebut. Lama tak terdengar, sekira 3 tahun kemudian saya
mendengar berita bahwa Bunga pergi ke Jakarta bersama seorang PIL (pria idaman
lain), sementara ke empat anaknya ditinggalkan begitu saja di rumah, sebagian ikut
bapaknya dan sebagian ikut neneknya.
Dua kasus di atas, di
mana yang pertama menjadi isu nasional dan yang kedua hanya berskala lokal
(pengalaman pribadi), seakan-akan menyiratkan sebuah pesan penting bagi kita
tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan (PUP). Di banyak daerah, angka
kasus pernikahan dini bukannya berkurang, tetapi malah kian bertambah. Dan, pada
kenyataannya, banyak dari rumah tangga pernikahan dini ini berantakan dan tidak
bertahan lama alias berujung perceraian.
Sebenarnya saya tidak
terlalu heran jika DF dan Bunga dalam dua kasus di atas malah cuek dengan suami
dan anak-anaknya dan (mungkin) lebih memilih bersenang-senang, memanjakan diri,
atau bahkan melepaskan diri dari ikatan pernikahan sekalipun. Logika atau alasannya
mungkin sebagai berikut.Pertama,
secara psikologis, besar kemungkinan itu semua dilakukannya sebagai kompensasi
atas hilangnya masa kanak-kanak mereka,diculik oleh peristiwa perkawinan dini.
Bayangkan saja, selepas SD (kasus Bunga), atau selepas SMP (kasus DF), mereka
harus kehilangan saat-saat bahagia mereka, masa-masa senang bermain bersama
teman sebaya, dan tiba-tiba mendapati diri mereka sebagai istri dari seorang
lelaki atau ibu bagi begitu banyak anak.
Kedua, di usia-usia itu (SMP sd SMA), mereka
masih dalam masa-masa tumbuh kembang baik secara fisik maupun
mental-psikologisnya, sehingga seharusnya proses ini tidak diganggu oleh kegiatan
apa pun, misalnya kegiatan reproduksi (hubungan seks, hamil, melahirkan,
menyusui).Itulah kenapa UU Perlindungan Anak (revisi terbaru tahun 2016) mengamanatkan
agar orangtua tidak mengizinkan anaknya menikah sebelum usianya 18 tahun.
Begitupun halnya BKKBN, yang menegaskan bahwa idealnya perempuan menikah
setelah 21 tahun, dan laki-laki sesudah 25 tahun. Tujuannya apa? Tujuannya
adalah agar mereka, terutama si perempuan (calon istri), bisa mengenyam
pendidikan yang memadai (paling tidak lulus SMA), sehingga setidaknya ia telah
memiliki kematangan baik secara intelektual, mental, maupun kejiwaan untuk
menjadi seorang istri ataupun ibu; seseorang yang akan mendampingi suami dan
mengasuh anak-anaknya.
Ada sebuah asumsi,
bahwa rendahnya tingkat pendidikan seseorang secara umum akan berbanding lurus
dengan rendahnya tingkat kematangan intelektual, mental, maupun kejiwaan. Ini
kemudian akan berdampak pada tingkat kedewasaan seseorang dalam menghadapi dan
mengelola masalah. Maka patut diduga, timbulnya keretakan rumah tangga dalam
pasangan suami istri pelaku pernikahan dini (merujuk pada dua kasus di atas)
sangat mungkin disebabkan oleh kekurangdewasaan dalam pikiran, sikap, dan
tindakan ketika dihadapkan pada permasalahan pelik rumahtangga. Masalah dalam
rumah tangga tentu ada, dan beraneka macam. Tetapi, yang terpenting adalah
bagaimana cara pandang seseorang untuk menyelesaikannya. Tanpa kedewasaan
bersikap, yang diambil adalah jalan-jalan penyelesaian masalah yang ngawur dan asal-asalan, tanpa menimbang
dampaknyajauh ke depan. DF dan Bunga (dalam dua kasus di atas) mungkin hanya
berpikir jangka pendek saja, yakni demi menuruti kesenangan dan ego pribadi;
mereka tidak berpikir secara mendalam tentang, misalnya, bagaimana nasib
anak-anak mereka (banyak dan masih kecil-kecil pula) tanpa kehadiran ibu?
Maka sangat tepat
jika ditesiskan bahwa sebagian besar pernikahan dini berujung kepada
perceraian.Kasus perceraian dari hari ke hari makin meningkat, bukannya turun. Sebut
saja di Gunungkidul, yang rata-rata per bulannya ada 100-an lebih pengajuan
gugatan cerai. Fakta ironisnya, dari akumulasi angka itu, pasangan pernikahan
dini ikut berkontribusi secara signifikan.
Yang penting untuk
kita renungkan adalah bahwa 90 persen lebih kasus pernikahan dini berawal dari
KTD (kehamilan tidak diinginkan) yang dialami oleh remaja perempuan. Karena
telanjur hamil, maka jalan satu-satunya adalah menikah, baik atas kehendak
sendiri ataupun paksaan pihak lain (baca: orangtua), demi menutupi malu atau
sekadar syarat untuk mendapatkan akta kelahiran bagi si jabang. Jika awal
mulanya adalah KTD, maka sesungguhnya dalam konteks ini mereka, pasangan muda
pelaku nikah dini, bukan satu-satunya pihak yang pantas disalahkan. Banyak
pihak lain yang juga bisa disalahkan. Ada orangtua yang abai terhadap pergaulan
dan gaya hidup anak remaja mereka. Ada masyarakat yang permisif dan acuh tak
acuh terhadap perilaku bebas remaja. Ada sekolah yang kurang maksimal dalam
memberi pendidikan budi pekerti dan kesehatan reproduksi. Di sisi lain,
institusi negara (yang anggarannya sampai ke tingkat desa) malah abai untuk
memfasilitasi warganya, khususnya orangtua dan remaja, agar bisa mengakses
wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Anggaran-anggaran di
tingkat desa (baca; ADD), misalnya, hampir sebagian besar terserap untuk
kegiatan-kegiatan pembangunan fisik (gedung, tanggul, talud, jembatan, jalan, dll);
sebaliknya, serapan dan untuk kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas SDM
seperti penyuluhan dan pelatihan justru sangat minim, untuk tidak mengatakan
tak ada sama sekali.
Maka, secara pribadi
saya mengapresiasi langkah BPPM (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat)
DIY yang per akhir Maret
kemarin, hingga
akhir tahun 2017 nanti, menggelar penyuluhan kesehatan reproduksi dan deklarasi
pencegahan pernikahan dini secara bergilir di seluruh kecamatan dan sejumlah
sekolah se-DIYogyakarta (4 kabupaten dan 1 kota), dengan melibatkan masyarakat
dan seluruh stakeholder dari tingkat
dusun hingga kecamatan. Langkah ini diambil tentu karena melihat kasus-kasus
pernikahan dini di DIY sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan (apalagi untuk
Gunungkidul, kasusnya tertinggi). Sehingga, dalam hal ini dibutuhkan
kesadarandan aksi nyata dari semua pihak, serta sinergi yang kuat antara
masyarakat dan pemerintah, baik dari sisi perencanaan kebijakanmaupun anggaran,
untuk meminimalisir dan mencegahnya secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Kita
semua berharap langkah
ini membawa hasil, sehingga kasus-kasus pernikahan dini ke depan makin
berkurang, dan syukur hilang sama sekali. Amien. Wallahu a’lam.(*)
*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan Girisubo, Gunungkidul
0 Comments