Oleh: Dra Rumi Hayati
(Kabid PP&PA DP3KBPMD Kabupaten Gunungkidul)
Begitu
marak berita di media cetak maupun elektronik tentang kekerasan yang terjadi
pada anak-anak di dunia ini, termasuk di Indonesia. Berbagai bentuk kekerasan
yang menimpa anak-anak dengan berbagi modus atau jenis kekerasan menjadikan
keprihatinan kita semua. Konsep yang dimiliki
orangtua, saudara, ataupun orang dewasa yang beranggapan bahwa anak adalah aset ataupun
hak milik yang dapat diperlakukan sewenang-wenang termasuk mendapatkan
pukulan, hujatan ataupun bentuk kekerasan lain menjadikan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang
terdekat dengan anak merupakan suatu kebiasaan yang dianggap sah-sah saja.
Berbicara masalah anak, yang dimaksudkan anak
dilihat dari faktor umurnya bukan dari segi fisik semata. Anak menurut pasal 1 UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan
hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa
kekerasan pada anak di lingkungan tempat tinggal, sekolah dan aktivitas bermain
meningkat signifikan setiap tahunnya.
Hasil ini diperoleh dari data
pemantauan KPAI dari tahun 2011 hingga
2014 tentang kasus kekerasan pada anak. Tahun 2011 tercatat 2.178 kasus, 2012
tercatat 3.512 kasus, 2013 tercatat 4.311 kasus dan 2014 tercatat hingga 5.066
kasus.
Berita di media sosial, baik elektronik
maupun cetak membuat semakin miris,
nasib-nasib anak-anak kita seperti diujung tanduk. Sedangkan anak merupakan
aset masa depan, mereka adalah generasi penerus bangsa, ditangan merekalah
keberlanjutan bangsa dan negara ini di
masa yang akan datang. Dengan jumlah anak yang hampir 30% dari jumlah penduduk
menjadikan kekerasan terhadap anak menjadi isu sentral untuk mendapatkan
penyelesaiannya. Pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan tentang
perlindungan anak, demikian juga ada banyak lembaga-lembaga baik provit maupun
non provit, milik pemerintah maupun swasta yang telah berpartisipasi dalam
upaya pencegahan kekerasan terhadap anak namun selama ini dirasa masih kurang
berhasil.
Dari
banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan menunjukkan bahwa keluarga, lingkungan sekitar, sekolah dan
masyarakat belum mampu memberikan perlindungan
yang memadai kepada
anak.
Selama
ini layanan yang diberikan lebih cenderung setelah terjadinya kekerasan atau
penanganan terhadap korban maupun pelaku, sementara upaya untuk pencegahan
terjadinya kekerasan masih sangat kurang.
Sudah saatnya kita mendorong dan
meningkatkan peran serta masyarakat agar
berpartisipasi aktif dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap
anak-anak dan mencari model atau pola yang terbaik untuk menyelamatkan
anak-anak dari kekerasan dan memberikan perlindungan pada anak-anak. Pemerintah
melihat situasi seperti ini tanggap akan keadaan sehingga melalui Kementerian
PPPA coba menginisiasi model perlindungan anak melalui strategi gerakan
masyarakat di wilayah tertentu secara terpadu yang dikenal dengan Perlindungan
Anak terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)
Hak-hak
Anak
Di
depan telah disampaikan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak justru dilakukan
oleh-oleh orang terdekatnya dalam hal ini keluarga, ayah, ibu, kakak atau
saudara lain yang tinggal serumah. Banyak yang tidak menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan dalam keluarga terhadap anak adalah bentuk dari kekerasan.
Misalnya bentakan, ancaman, tamparan, cubitan, pemaksaan kehendak pada anak, dan
masih banyak lagi yang kesemuanya adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Seperti
kita ketahui bahwa anak-anak pun memiliki hak-hak seperti layaknya orang
dewasa. Negara-negara
Peserta/Penandatangan Hasil Konvensi Hak-Hak
Anak PBB pada tanggal 20 November tahun 1989, mendeklarasikan menghormati dan menjamin
hak-hak setiap anak tanpa diskriminasi
dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, keyakinan politik dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, asal etnik
atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak
atau orangtua anak atau pengasuhnya yang sah.
Berdasarkan Konvensi tersebut, terdapat 10 (sepuluh) hak yang wajib diberikan orangtua
untuk anak yaitu:
1.
Hak untuk bermain
2.
Hak untuk mendapatkan pendidikan
3.
Hak untuk mendapatkan perlindungan
4.
Hak untuk mendapatkan nama (identitas)
5.
Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
6.
Hak untuk mendapatkan makanan
7.
Hak untuk mendapatkan akses kesehatan
8.
Hak untuk mendapatkan rekreasi
9.
Hak untuk mendapatkan kesamaan
10. Hak untuk berperan
dalam pembangunan
Sebagai orangtua, ketika hak-hak anak
ini telah terpenuhi, agar juga mengajarkan kepada anak bahwa kewajiban anak
adalah menghormati orangtua, guru, orang lain, dan juga bangsa dan negara.
Sudahkah hak-hak anak kita ini terpenuhi? Itulah yang perlu direnungkan pada
diri kita sebagai orang tua.
Negara Indonesia telah mendedikasikan diri
untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dengan memberikan perlindungan
terhadap anak secara khusus melalui UU No. 34 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak, secara substansial
sudah cukup mengakomodir hak-hak anak untuk dijadikan dasar yuridis dalam
memberikan pemenuhan perlindungan terhadap anak. Namun meningkatnya berbagai bentuk kekerasan dan
pelanggaran hak anak di Indonesia dari tahun ketahun, menunjukkan bahwa Negara,
Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya dalam perlindungan anak, hal ini dikarenakan orientasi
yang diberikan adalah pelayanan saat anak menjadi korban kekerasan.
Faktor penyebab
meningkatnya pelanggaran terhadap hak anak karena beragam pemicu. Misalnya,
lemahnya pemahaman keluarga, orangtua, masyarakat, dan pemerintah terhadap
hak-hak anak; kurangnya pemahaman orang tua terhadap pola pengasuhan yang anti
kekerasan, masih berlakunya anggapan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orangtua adalah hal yang sudah seharusnya,
meskipun itu merupakan pelanggaran terhadap hak anak, dan masih banyak lagi
praktek-praktek kebiasaan di dalam keluarga mauoun masyarakat yang menerima dan
membiarkan terjadinya kekerasan pada
anak-anak kita.
Untuk memutus mata rantai pelanggaran terhadap hak anak perlu upaya yang sungguh-sungguh dengan mendorong keterlibatan masyarakat, pemerintah atau negara, melalui program prioritas dan berkesinambungan, melalui program pencegahan dan deteksi dini.
Untuk memutus mata rantai pelanggaran terhadap hak anak perlu upaya yang sungguh-sungguh dengan mendorong keterlibatan masyarakat, pemerintah atau negara, melalui program prioritas dan berkesinambungan, melalui program pencegahan dan deteksi dini.
Kekerasan pada
anak-anak
Tanpa kita sadari
sebagai orangtua mungkin kita pernah
melakukan kekerasan pada anak anak kita. Atau, kita sendiri mungkin pernah
mengalami kekerasan saat masih kecil. Dampak kekerasan ini bisa berkepanjangan,
bahkan bisa memengaruhi bagaimana anak kita mengasuh anaknya kelak. Tidak menutup
kemungkinan bahwa anak yang pernah mengalami kekerasan atau pelecehan bisa
menjadi orangtua yang melakukan kekerasan/pelecehan semacamnya kepada anaknya
kelak. Atau dengan kata lain seseorang
tadinya sebagai korban kekerasan akan menjadi pelaku, siklus ini sangat
mungkin terjadi. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari anak
korban kekerasan dapat menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.
Beberapa kejadian yang dialami oleh anak-anak yang
menjadi pendukung terjadinya ini adalah:
1. Kekerasan
dilakukan sejak dini.
2. Kekerasan
dilakukan dalam waktu yang lama.
3. Kekerasan
dilakukan oleh orang yang berhubungan dekat dengan korban, misalnya orangtua
dan kekerasan yang dilakukan sangat berbahaya bagi anak
Namun tidak selamanya anak korban kekerasan menjadi
orangtua yang juga melakukan kekerasan kepada anaknya kelak. Ada juga anak
korban kekerasan yang menyadari bahwa apa yang ia terima bukanlah hal baik.
Sehingga, pada akhirnya ia termotivasi untuk tidak melakukan hal yang sama
seperti yang ia terima dan justru lebih melindungi anak-anak mereka dari
kekerasan.
Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Menurut WHO, kekerasan terhadap anak
adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk
menyakiti fisik, emosional, seksual, melal aikan pengasuhan dan eksploitasi
untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan
kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan
kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa
dalam perlindungan anak tersebut.
Dengan demikian kekerasan pada anak bukan hanya
meliputi kekerasan fisik atau pelecehan seksual, tapi bisa lebih dari itu.
Perilaku penelantaran orangtua terhadap anaknya juga termasuk salah satu bentuk
kekerasan pada anak.
Ada baiknya
kita mengenali bentuk-bentuk kekerasan
pada anak :
·
Kekerasan fisik. Terkadang,
mungkin orangtua dengan sengaja melakukan kekerasan pada anak dengan maksud untuk
mendisiplinkan anak. Namun, cara untuk mendisiplinkan anak sebenarnya tidak
selalu harus menggunakan cara-cara
fisik yang
menyakitkan anak.
·
Kekerasan emosional. Kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa
dalam bentuk yang menyerang mental anak. Meremehkan atau mempermalukan anak,
berteriak depan anak, mengancam anak, mengatakan bahwa ia tidak baik atau anak
buruk, termasuk kontak fisik (seperti memeluk dan mencium anak) yang jarang
diberikan orangtua pada anak, merupakan contoh-contoh dari kekerasan emosional
pada anak.
·
Kekerasan seksual.
Ternyata, kekerasan
atau pelecehan seksual tidak hanya dalam bentuk
kontak tubuh. Tapi, mengekspos anak pada situasi seksual atau materi yang melecehkan
secara seksual walaupun
tidak menyentuh anak, termasuk dalam kekerasan atau pelecehan seksual.
·
Penelantaran anak. Kewajiban orangtua adalah memenuhi kebutuhan anaknya. Tidak
menyediakan kebutuhan dasar anak, seperti makanan, pakaian, kesehatan, dan
pengawasan, termasuk dalam bentuk penelantaran anak. Seringkali, perilaku ini
mungkin tidak disadari.
Anak korban kekerasan harus diberi
tahu bahwa apa yang ia terima merupakan hal yang salah dan tidak baik
dilakukan, sehingga ia tidak akan berlaku seperti itu kepada siapapun. Anak
juga tidak boleh disalahkan terhadap kekerasan yang diterimanya, sehingga
trauma anak tidak bertambah buruk dan lebih cepat pulih. Banyak korban yang
dapat mengatasi traumanya dengan dukungan emosional dari orang terdekat atau
terapi keluarga, sehingga mereka menyadari bahwa kejadian ini tidak boleh terulang
lagi. Anak korban kekerasan bisa diedukasi, diberikan pendampingan, dan terapi
untuk memulihkan kondisi psikisnya. Saat sudah memasuki usia dewasa, anak
korban kekerasan juga bisa mengikuti kelas parenting dan kelompok pendukung
pengasuh untuk belajar bagaimana cara baik mengasuh anak.
Perlindungan terhadap anak
Untuk
menyelamatkan anak-anak dari segala tindakan kekerasan tidak bisa ditimpakan
pada satu pihak saja meskipun secara kaidah
hukum, warga negara dan negaralah
yang bertanggungjawab melindungi segenap
warga negara dan tumpah darah Indonesia. Sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan anak wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi hak-haknyamoleh orang tua, keluarga, masyarakat,
negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Seberapa jauhkah upaya yang telah
dilakukan masing-masing kompenen tersebut? Apakah masing-masing komponen telah
melaksanakan ketugasannya dengan tepat sasaran?
Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Di dalam konvensi hak anak terdapat empat prinsip
umum (general principles), salah satu diantaranya adalah non diskriminasi
artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam konvensi hak anak harus
diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun
Beberapa penerapan
program pemerintah yang dapat kita lihat seperti kota layak anak, forum anak,
GN-AKSA (Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Anak) masih kurang efektif
dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan pada anak. Kebijakan Pemerintah yang selama ini
berjalan lebih berfokus pada penanganan
keluarga dan anak-anak yang
rentan dan beresiko atau sudah menjadi korban kekerasan.
Saat ini yang perlu dipikirkan dan
dilakukan adalah bagaimana masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam
pencegahan kekerasan. Sementara program terkait dengan penguatan tatanan sosial
seperti norma sosial, sikap dan prilaku serta memperkuat keterampilan orang tua
dan menyadarkan masyarakat tentang dampak buruk dari kekerasan terhadap anak
masih sangat minim.
Melihat situasi yang demikian
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI mencoba
mencari solusi dengan mengubah strategi berupa penguatan masyarakat agar lebih berperan aktif terhadap upaya pencegahan
kekerasan, dengan membangun kesadaran masyarakat agar terjadi perobahan
pemahaman, sikap dan prilaku yang memberikan perlindungan kepada
anak melalui Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
(PATBM).
PATBM merupakan suatu gerakan yang
dilakukan secara terkoordinasi oleh berbagai elemen/komunitas/kelompok secara bersama-sama di suatu wilayah
tertentu (desa) untuk mencapai tujuan perlindungan anak. Komunitas/kelompok yang ada di masyarakat adalah organisasi/lembaga-lembaga
yang telah terbentuk di masyarakat, misalnya PKK, Karang Taruna,
Kelompok-kelompok Bina Keluarga Remaja, Bina Keluarga Balita, Posyandu, Kelompok Ibadah, Forum Anak, dll. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah:
1. Bagaimana masyarakat bersama-sama mencegah
kekerasan, dan
2. Bagaimana masyarakat menanggapi kekerasan yang
terjadi.
Sebagai upaya untuk mencegah
kekerasan termasuk di dalamnya segala tindakan yang dilakukan untuk mencegah
kekerasan terhadap anak melalui:
1.
Memberikan informasi, sosialisasi dan pendidikan tentang norma sosial
dan praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan
2. Membangun sistem pada tingkat
komunitas dan keluarga untuk pengasuhan yang mendukung relasi yang aman untuk mencegah
kekerasan (peer to peer approach)
3. Meningkatkan
keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan.
Menanggapi
kekerasan mengacu pada langkah-langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi,
menolong, dan melindungi anak-anak yang menjadi korban kekerasan termasuk akses
terhadap keadilan bagi korban dan pelaku anak. Upaya ini dilakukan dengan
melalui jejaring (termasuk advokasi) dengan layanan pendukung yang terjangkau
dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam risiko.
Titik berat dari kegiatan PATBM adalah
kegiatan promotif dan pencegahan untuk menghindari terjadinya kekerasan. Upaya
untuk promosi dan pencegahan ini dilakukan dengan tujuan:
1. untuk membangun norma anti
kekerasan,
2. memampukan orang tua untuk
mengasuh anak yang jauh dari nilai kekerasan dan
3. memampukan anak untuk bisa
melindungi dirinya dari kemungkinan kekerasan yang terjadi.
Oleh karena ini
merupakan kegiatan yang terpadu, maka kegiatan PATBM perlu mengarah juga pada
kegiatan yang bersifat pengenalan terhadap terjadinya kekerasan dan upaya untuk
menolong korban kekerasan serta memulihkan korban kekerasan yang terjadi.
Kegiatan PATBM di desa/kalurahan atau dusun/RW/RT pada hakekatnya mengacu pada
tujuan PATBM yang secara ringkas mencakup kegiatan yang bertingkat sesuai
dengan sasarannya yaitu aak-anak,
keluarga dan masyarakat:
1. Tingkat
anak-anak: kegiatan yang diarahkan untuk memampukan anak melindungi hak-haknya,
termasuk melindungi dari kekerasan yang terjadi. Kegiatan ini bisa berupa
kegiatan keagamaan, kegiatan kreatif dan rekreatif, kegiatan pendidikan
termasuk juga pengembangan forum anak.
2. Tingkat keluarga:
kegiatan ini diarahkan untuk memampukan orang tua dalam mengasuh anak sesuai
dengan perkembangan usia dan hak-hak anak. Kegiatan ini bisa merupakan kegiatan
sarasehan orang tua, berbagi pengalaman pengasuhan di antara orang tua atau
peningkatan ketrampilan pengasuhan anak
3. Tingkat komunitas
atau masyarakat desa: kegiatan ini diarahkan untuk membangun dan memperkuat
sebuah norma anti kekerasan kepada anak yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Kegiatan bisa dilakukan dengan sarasehan dan sosialisasi yang diikuti oleh
warga masyarakat atau mengembangkan kebijakan lokal tentang penguatan perlindungan
anak misalnya dengan pengawasan bermain, pengembangan rumah singgah bagi anak
sekolah, dan lain-lain.
Untuk menjamin
keberlanjutan gerakan ini maka diperlukan pengorganisasian PATBM , terdapat 6
komponen yaitu: (a) regulasi dan tata
kelola organisasi, (b) pendanaan, (c) informasi, (d) sumber daya manusia, (e)
perlengkapan/ logistik, dan (f) mobilisasi partisipasi masyarakat. Semua
komponen pengelolaan tersebut berlangsung di tingkat pusat, provinsi, dan
kota/kabupaten dalam rangka persiapan dan pemberian dukungan untuk pengembangan
PATBM, serta di tingkat desa/kelurahan/ RW/RT dalam rangka persiapan
operasional dan pelaksanaan PATBM. Dengan melaksanakan fungsi penggerakan yang
mempertimbangkan 6 komponen di atas, maka diharapkan kegiatan PATBM akan berjalan
dengan terencana dengan dukungan sumber daya yang ada di desa untuk menjamin
pelaksanaan yang lancar dan berkelanjutan serta bisa dimanfaatkan oleh
anak-anak, keluarga dan masyarakat itu sendiri
Penutup
1. Berbagai lembaga bergerak di perlindungan
anak terhadap korban kekerasan yang didirikan Pemerintah maupun swasta hingga saat ini belum mampu menurunkan angka
kekerasan terhadap anak. Situasi ini
lebih dikarenakan masyarakat belum berpartisipasi secara aktif dalam
perlindungan anak. Terkait dengan hal tersebut Kementerian PP&PA
menginisiasi lahirnya sebuah strategi gerakan Perlindungan Anak Berbasis
Masyarakat (PATBM) yang dikelola oleh sekelompok orang yang tinggal di suatu
wilayah (desa atau kelurahan). Melalui
PATBM ini diharapkan masyarakat dapat mengenali, menelaah dan mengambil
insiatif untuk memecahkan permasalahan yang ada di lingkungannya secara
mandiri.
2. PATBM bukan merupakan kegiatan
perlindungan anak yang baru atau menggantikan kegiatan perlindungan anak yang
sudah ada, tetapi diarahkan untuk memperkuat struktur perlindungan anak lokal
yang telah ada. Misalnya sebuah kegiatan perlindungan anak yang ada di suatu
desa atau kelurahan saat ini berfokus pada kegiatan anak-anak, maka kegiatan
ini bisa diperkuat dengan mengembangkan kegiatan untuk orang tua dan masyarakat.
3. Titik berat dari kegiatan PATBM adalah kegiatan
promotif dan pencegahan untuk menghindari terjadinya kekerasan. Upaya untuk
promosi dan pencegahan ini dilakukan dengan tujuan untuk membangun norma anti
kekerasan, memampukan orang tua untuk mengasuh anak yang jauh dari nilai
kekerasan dan memampukan anak untuk bisa melindungi dirinya dari kemungkinan
kekerasan yang terjadi. Oleh karena ini merupakan kegiatan yang terpadu, maka
kegiatan PATBM perlu mengarah juga pada kegiatan yang bersifat pengenalan
terhadap terjadinya kekerasan dan upaya untuk menolong korban kekerasan serta
memulihkan korban kekerasan yang terjadi.(*)
0 Comments