Oleh: Ahmad Harwanto, SSos
(Penyuluh KB Kecamatan Saptosari)
Pembangunan
keluarga menjadi hal yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak sejak dilahirkan. Dalam
lingkungan ini, anak mempelajari dan diajari berbagai hal yang menjadi bekal
bagi kehidupannya di masa mendatang. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan keluarga yang
dimaksud adalah suami, istri dan anak, suami-istri, ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya.
Bangsa Indonesia memiliki Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang
diperingati setiap 29 Juni. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 2014
tentang Harganas, 29 Juni ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional dan bukan
hari libur. Harganas diperingati setiap tahun oleh Badan Kependudukan dan
Keluarga Nasional (BKKBN) dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait serta
melibatkan mitra kerja, seperti Tim Penggerak PKK, dan seluruh lapisan
masyarakat.
Melalui ketetapan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, BKKBN telah berubah
dari sebelumnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan
Kependudukan dan Keluarga Nasional, yang menjalankan program Kependudukan,
Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).
Hari Keluarga Nasional pertama kali diperingati pada 1993 di Provinsi
Lampung sebagai tuan rumah. Pada tahun ini, peringatan Hari Keluarga Nasional
ke-25 dilaksanakan di Manado dengan tema “Hari Kita Semua, Cinta Keluarga, Cinta Terencana”.
Momentum Harganas merupakan upaya meningkatkan kesadaran dan peran
masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Dengan
menanamkan nilai-nilai kehidupan berbangsa kepada anggota keluarga sejak dini,
akan menjadikan keluarga sebagai wahana yang tangguh bagi terwujudnya keluarga
yang berkualitas. Harganas diharapkan mampu menjadi wahana menyukseskan program
Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
khususnya butir lima, yaitu membangun manusia berkualitas.
Karena itu, pola pengasuhan yang diberikan orang tua akan menentukan karakter
anak selanjutnya. Delapan fungsi keluarga harus dijalankan setiap keluarga
dalam membangun keluarga yang berketahanan. Orang tua harus bisa menjadi
panutan bagi anaknya. Proses ini dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan,
pengasuhan, pembiasaan, dan keteladanan. Delapan fungsi itu adalah fungsi
agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi
pendidikan, ekonomi, dan lingkungan.
Peringatan hari keluarga merupakan upaya untuk mengingatkan seluruh
masyarakat Indonesia, betapa pentingnya suatu keluarga. Keluarga mempunyai
peranan dalam upaya memantapkan ketahanan nasional dalam mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa. Dari keluargalah kekuatan dalam pembangunan suatu bangsa
akan muncul.
Dua Puluh Sembilan Juni sebagai hari keluarga saat ini memang belum
terlalu dikenal masyarakat. Bahkan aparat pemerintah pun banyak yang
belum mengenal Hari Keluarga. Hal ini mungkin disebabkan karena
upaya untuk memasyarakatkan Hari Keluarga memang belum optimal. Di lain
pihak, rasa memiliki akan hari keluarga masih sangat kurang. Masyarakat,
juga belum merasakan manfaatnya, sedangkan instansi pemerintah belum merasa
bertanggung-jawab. Bila mendengar istilah Hari Keluarga Nasional, atau
disingkat dengan HARGANAS, maka identik dengan Keluarga Berencana (KB).
Konsekuensinya, segala hal yang berkaitan dengan Harganas seakan akan
menjadi tanggung jawab BKKBN.
Beberapa negara lain, juga memiliki hari keluarga ini (Family Day),
namun masing-masing dengan latar belakang dan cara memperingati
yang beraneka ragam. Amerika mengenal istilah Family Day (Hari
Keluarga) sudah lebih lama. Pertama kali mereka memperingatinya pada hari
Minggu pertama bulan Agustus 1978. Afrika Selatan juga mengenal Hari
Keluarga sejak 1995. Australia baru mendeklarasikan Hari Keluarga pada
Selasa minggu pertama November 2007, saat pelaksanaan Melbourne Cup.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kemudian pada tahun 1994 menetapkan 15
Mei sebagai Hari Keluarga Internasional.
Walaupun tanggal pelaksanaan berbeda, namun secara umum di
negara-negara tersebut Hari Keluarga dimaknai sebagai hari berkumpulnya anggota
keluarga, ayah ibu dan anak-anak untuk makan bersama. Saat berkumpul inilah
diharapkan akan menumbuhkan rasa kebersamaan dalam suatu keluarga. Karena
tujuannya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, maka ada yang
mendefinisikan bahwa Hari Keluarga tidak hanya untuk keluarga; tetapi suatu
hari yang dirayakan untuk berbagai komunitas termasuk bisnis dan kelompok
masyarakat tertentu.
Sejarah Hari Keluarga
Kepala BKKBN pada waktu itu, Dr Haryono Suyono
menyampaikan gagasan kepada Presiden Soeharto agar keluarga-keluarga Indonesia
mempunyai hari tersendiri, untuk mendorong masyarakat untuk lebih
bersemangat dalam membangun keluarganya. Alasan yang dikemukakan adalah: (1)
mewarisi semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa. (2) tetap
menghargai dan perlunya keluarga bagi kesejahteraan bangsa. (3) membangun
keluarga menjadi keluarga yang mampu bekerja keras dan mampu berbenah diri
menuju keluarga yang sejahtera.
Tanggal 29
Juni kemudian disepakati sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Hal ini
tidak terlepas dari nilai historis, dimana tanggal 29 Juni 1949 tentara
Republik Indonesia yang semula bergerilya siap masuk kota Yogyakarta dan
para pejuang kembali kepada keluarganya masing-masing.
Sejarah
mencatat, bahwa walaupun Indonesia sudah merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945, namun sampai tahun 1949 situasi bangsa kita belum begitu kondusif.
Kondisi ini menuntut sebagian tentara dan masyarakat Indonesia melakukan
perang gerilya, dan berpisah dengan keluarga, termasuk diantaranya Letnan
Kolonen Soeharto, sebagai Komandan Gerilya di Yogyakarta. Melalui perjuangan
yang gigih, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan
bangsa Indonesia secara utuh. Enam hari kemudian yaitu tanggal 24-29 Juni 1949,
proses penarikan tentara penjajah dari bumi Yogyakarta berlangsung,
sehingga pada 29 Juni 1949 seluruh kota kosong dari tentara Belanda. Saat
itulah tentara pejuang, dapat berkumpul kembali pada keluarganya. Letnan
Kolonen Soeharto memberikan laporan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahwa
seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, telah kembali
kepada keluarganya masing-masing. Momentum inilah yang kemudian melandasi
lahirnya Hari Keluarga.
Dari sejarah
tercatat pula bahwa perhatian terhadap program KB dimulai pada tahun 1957,
dengan terbentuknya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Perkumpulan ini fokus pada penurunan angka kematian ibu hamil dan
melahirkan, yang pada waktu itu telah mencapai tingkat 800 per 100.000.
Kematian yang begitu tinggi disebabkan antara lain, karena terbatasnya dokter
dan tenaga medis, minimnya peralatan kesehatan, pertolongan dilakukan melalui
dukun, banyaknya penduduk yang kawin dan melahirkan pada usia muda, sehingga
pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan dan angka kematian ibu hamil dan
melahirkan sangat tinggi. Secara resmi, pemerintah menjadikan program Keluarga
Berencana menjadi program nasional, dilakukan bersamaan dengan berdirinya
Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN) pada 29 Juni 1970,
yang merupakan puncak kristalisasi semangat pejuang Keluarga Berencana (KB)
untuk memperkuat dan memperluas program KB.
Program KB
dicanangkan pemerintah Orde Baru, selain untuk menekan laju pertambahan
penduduk, dengan jumlah keluarga inti yang cukup, juga agar kesejahteraan
keluarga dapat meningkat secara signifikan. Tanggal 29 Juni 1970 kemudian
dikenal pula dengan tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Jadi, lahirnya Hari
Keluarga di Indonesia ditandai dengan dimulainya hari kebangkitan; bangkitnya
kesadaran keluarga untuk membangun dirinya ke arah keluarga kecil melalui
Keluarga Berencana (KB). Maka tidak heran bila peringatan Hari Keluarga selalu
dipelopori oleh BKKBN sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang mengurusi
bidang keluarga berencana, dan Tim Penggerak PKK selaku gerakan masyarakat di
semua lapisan wilayah.
Penetapan 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional
mengingatkan titik penting kualitas keluarga sebagai kunci masa depan bangsa.
Karena itu, upaya mewujudkan keluarga sejahtera harus dimulai sejak perencanaan
keluarga. Perjalanan panjang keluarga yang mereka tempuh akan menjadi mata
rantai kehidupan dari generasi ke generasi berikutnya. Kualitas generasi di
masa datang ditentukan oleh kualitas keluarganya saat ini. Kualitas keluarga
sangat sering dilihat hanya sebatas ketercukupan secara ekonomi. Tentu saja,
perspektif program kependudukan keluarga berencana, dan pembangunan keluarga
(KKBPK), menyiratkan pengentasan permasalahan ekonomi yang rentan
dihadapi keluarga yang memiliki banyak anak. Semakin sedikit anak, orangtua
dapat mengoptimalkan nafkah yang didapat untuk tumbuh kembang anak dalam
berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dalam kemiskinan, ada
nilai “makan atau tidak, yang penting kumpul” yang menyiratkan kuatnya ikatan
dalam keluarga. Dalam kelimpahan, meja makan lebih sering digunakan sebagai
“tempat menaruh makanan”. Obrolan yang harusnya dipertukarkan antar anggota
keluarga sembari makan, justru dipertukarkan melalui gadget yang sibuk
dimainkan masing-masing. Oleh sebab itu, kelimpahan bukanlah satu-satunya hal
yang berdampak pada kebahagiaan anak dan orangtua dalam keluarga. Itulah
sebabnya, anak tak akan merasa cukup saat hanya mendapatkan fasilitas dari
orangtuanya. Anak butuh didengarkan, anak butuh kesempatan bertanya pada
orangtuanya. Kebutuhan tersebut didapatkan anak, saat orangtua mulai
mendengarkan dan bertanya kepada mereka. Tak lagi menyuruh atau sekadar
memberikan fasilitas tanpa memahami kekuatan dan jati diri anak.
Dengan demikian,
fungsi suatu keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata,
tetapi terdapat fungsi fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Undang
undang Nomor 10 Tahun 1992 dan PP Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa
minimal ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga, yaitu fungsi
agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi
dan fungsi pembinaan lingkungan.
Fungsi Agama
Agama merupakan dasar dari segala fungsi. Keluarga dan
anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga dapat dijadikan
sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Mahessa. Ada 13 nilai dasar yang dikembangkan, meliputi iman, taqwa, kejujuran,
tenggang rasa, rajin, kesalehan, ketaatan, suka membantu, disiplin, sopan
santuan, kesabaran, kasih sayang, dan tanggung jawab yang harus diterapkan
orang tua terhadap anak-anaknya.
Fungsi Sosial Budaya
Fungsi ini memberikan kesempatan kepada seluruh
keluarga dan anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang
beraneka ragam dalam suatu kesatuan. Budaya di sini lebih banyak menekankan
pada pola perilaku dan sifat-sifat yang perlu dilestarikan. Nilai dasar fungsi
budaya yang harus kita lestarikan melalui pewarisan orang tua kepada anaknya
meliputi nilai-nilai gotong royong, sopan santun, kerukunan, kebersamaan,
kepedulian, toleransi dan kebangsaan.
Fungsi Cinta kasih
Cinta kasih akan memberikan landasan yang kokoh
terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi
wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir bathin. Hubungan
tersebut akan terwujud bila suatu keluarga dapat menerapkan nilai-nilai berupa
empati, adil, pemaaf, setia, suka menolong, pengorbanan dan tanggung jawab.
Fungsi Perlindungan
Suatu keluarga harus mampu menciptakan dan menumbuhkan
rasa aman dan kehangatan dalam keluarga tersebut, sehingga akhirnya akan
terwujud ketenangan dan kenyamanan dalam keluarga tersebut. Oleh sebab itu
harus ada sikap yang tanggap bagi seluruh anggota keluarga untuk menciptakan
suasana tersebut bagi anggota lainnya.
Fungsi Reproduksi
Secara kodrati makhluk hidup itu memerlukan keturunan
untuk melestarikan keberadaannya. Yang terpenting dan terbaik bagi manusia
apabila ia dapat melanjutkan keturunannya itu dengan menciptakan kondisi yang
lebih baik dari orang tuanya. Oleh sebab itu harus ada perencanaan yang baik
dalam reproduksi dengan kata lain adanya reproduksi yang bertanggung-jawab.
Fungsi Sosialisasi atau Pendidikan.
Fungsi keluarga ini menekankan bahwa keluarga berperan
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupannya di masa depan. Bagi orang tua, mereka harus mampu
menanamkan kepada keturunannya nilai-nilai pendidikan yang positif seperti
percaya diri, luwes, bangga, rajin, kreatif, tanggung-jawab serta kerjasama.
Jadi makna pendidikan di sini bukan berarti hanya terhadap kemampuan orang tua
untuk memberikan pendidikan formal kepada anaknya belaka, tetapi termasuk
didalamnya tanggung-jawab orang tua dalam kemampuan sosialisasi anak.
Fungsi Ekonomi
Banyak yang beranggapan bahwa ada uang segala sesuatu
akan beres. Sehingga fungsi ini diartikan bahwa dengan terwujudnya fungsi
ekonomi yang baik (dibaca mempunyai kerjaan bagus, banyak uang) maka
fungsi-fungsi lain seperti pendidikan, perlindungan dan sebagainya akan segera
dapat teratasi. Anggapan ini perlu diluruskan karena dalam membina fungsi
ekonomi keluarga yang harus ditanamkan dan menjadi landasan dasarnya adalah
adanya nilai-nilai hemat, peduli, teliti, disiplin dan ulet bagi anggota
keluarga tersebut. Nilai-nilai inilah harus diwariskan orang tua untuk
membentengi ketahanan keluarga yang tangguh. Disini terlihat bahwa
pemberian ikan dari orang tua kepada anak tidak cukup karena itu sifatnya
hanya rangsangan belaka, tetapi kita wajib menyertakan kailnya.
Fungsi Lingkungan
Fungsi keluarga ini memberikan kepada setiap anggota
keluarga kemampuan untuk menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang
sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Setidaknya bagi orang tua harus mampu menanamkan rasa cinta dan menyayangi
lingkungan alam sehingga dapat menjaga dan melestarikan untuk kehidupan
mendatang.
Penutup
Peringatan Hari Keluarga bagi bangsa Indonesia bukan
hanya sekadar ajang berkumpulnya bagi anggota keluarga. Hari Keluarga seharusnya
sebagai wahana untuk mengembalikan kemandirian nilai-nilai luhur suatu
keluarga, dan dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi apakah selama
ini keluarga kita sudah dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarga secara
mandiri; kalau belum, berarti ketahanan keluarga kita juga masih ada yang
lemah. Kata ketahanan dalam ketahanan keluarga berbeda dengan yang ada
pada kata ketahanan pangan. Pada ketahanan pangan, ketahanan dapat diartikan
sebagai ketersediaan, jadi bersifat defensif. Bila pangan sudah tersedia untuk
periode tertentu maka amanlah untuk periode tersebut. Namun dalam ketahanan
keluarga, ketahanan tidak cukup bersifat defensif tapi ia harus bersifat developed
dan dinamis; selalu berupaya mencari fungsi keluarga yang lebih maju ke depan.
Dengan demikian perjuangan untuk memperoleh ketahanan keluarga yang tangguh
tidak mudah, harus melalui perjuangan yang lebih keras lagi.(*)
Referensi:
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
0 Comments